SING TEKO
Labels
- 2014 (26)
- 2015 (13)
- Agustus (3)
- April (4)
- Arthafreya (1)
- Bahasa (1)
- Bakti Sosial (2)
- Bullying (1)
- Cerita Pendek (2)
- Cinta (4)
- Cook (3)
- DE-NL-ERS (30)
- Desember (1)
- Dream (5)
- Efi (2)
- Erna (15)
- Februari (6)
- heningswara (20)
- Ibu (6)
- Januari (7)
- Juli (1)
- Juni (2)
- Kepada Rangga (1)
- Kontemplasi (26)
- Laki-Laki Terindah (3)
- LDC (24)
- Lesbrary (4)
- Liburan (1)
- Logo (1)
- MadRann (83)
- Maret (4)
- Maybe Yes Maybe No (3)
- Megha (7)
- Meghi (1)
- Mei (3)
- Mengeksekusi Hubungan yang Melelahkan (1)
- Merdeka (3)
- Meta (1)
- Mimpi (3)
- Missing Her (3)
- Move On (5)
- n1nna (1)
- Nadia (1)
- Neni (5)
- Niken (49)
- November (1)
- Oktober (2)
- Opini (1)
- Pahlawan (4)
- Puisi (94)
- Pusing (6)
- Rara (2)
- Resensi (7)
- Safe Sex (2)
- Sahabat (24)
- Self Awareness (3)
- September (2)
- Special Case (15)
- Tips (10)
- Vany (2)
Entri Populer
-
Judul buku: Flambe Penulis: Club Camilan Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Kota dan tahun terbit: Jakarta, 2014 Genre: Novel Dewasa ...
-
Apa yang membuat orang jatuh cinta? Apakah itu dari p anda ngan? Mungkin kamu pernah jatuh cinta pada seseorang karena kecantikannya, raut...
-
Sejujurnya saya bukan orang yang dekat dengan orang tua, terutama ibu. Sempat saya sangat membenci ibu. Waktu itu (mungkin tidak sengaja...
Kontributor
Negeri ini (baca: Indonesia) selalu gegap gempita dalam
meggalang nasionalisme. Kalau bukan karena hasil budaya dimaling ya karena bahaya
laten, entah itu komunis atau khliafah. Maka isu tersedap Negara ini adalah
bangkitnya komunis atau laten radikalisme Islam. Dan September akan selalu
dijadikan momentum waspada bahaya laten komunis.Ya peristiwa 30 September 1965
adalah momentum menentukan musuh bersama bagi Indonesia, yaitu kaum jomblo
eh PKI, kaum dan paham komunis serta (ke)turunannya.
Se
50 tahun setelah peristiwa pengkhianatan PKI kespada Pancasila,
tidak ada usaha yang nyata bagaimana meluruskan sejarah kelam itu. Karena meski
tampaknya kita berideologi Pancasila (tengok sila ke2), kekuasaan Negara kita
cenderung fasis yang mengharuskan sejarah berpihak kepada yang menang secara
politik. Banjir darah, hukuman tanpa peradilan, bunuh membunuh antara kaum
komunis, kaum santri, ormas dibiarkan tanpa ada campur tangan Negara. Maka yang
ada dari dulu adalah pertikaian, prasangka dibiarkan tumbuh bahkan dipupuk di
antara masyarakat. Dan tentu saja Negara dengan tentaranya menangguk untung.
Tidak perlu banyak popor bicara, namun pembiaran pelopor masyarakat menuding
suatu kelompok komunis, teroris akan menciptakan kegaduhan di masyarakat sendiri
dan Negara tinggal menggaruk keduanya.
Taktik Gajah Mada, Machiavelli, Suharto yang membentuk Negara
besar dengan menghalalkan segala cara (Het doel, heilight de midellen) sudah
pasti membuat negara bisa menyiksa, mengkhianati, mencelakakan masyarakatnya
sendiri. Kita lihat bahwa demi nama pembangunan di masa orde baru maka
pemerintah bisa menggusur tanpa rasa manusiawi, bila masyarakat menolak maka
akan dituduh PKI.
Kegagalan bapak pluralis kita Gus Dur yang berniat
menghapuskan TAP MPRS XXV tahun 1966 "Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966
Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi
Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis
Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan
Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.” tentu saja disyukuri oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia yang ah begitulah.
Tengoklah kelompok budayawan yang mendaku (mengklaim)
dirinya anti komunis, anti radikal adalah kelompok-kelompok yang terhormat di Negara
ini, dan diseberangnya Seperti Taufik ismail, Emha Ainun Nadjib yang kini berseru-seru,
tidak perlu pemerintah meminta maaf pada korban 65, karena kaum komunis adalah
pengkhianat.dan tentu saja pengkhianat memang tidak pantas dimaafkan, karena
kelakuannya menimbulkan trauma. Padahal pr sejarawan untuk mencari akar
permasalahan apa betul PKI berniat memberontak, ekses kegaduhan saat itu yang
mengakibatkan pembunuhan antar masyarakat juga malah belum tuntas dimulai
secara konstitusional.
50 tahun Indonesia telah memerangkap hantu bernama
komunis, padahal di era ini mau mempelajari komunis semudah kita bercinta
seperti panduan di google. Inilah wajah asli masyarakat kita, mendaku sebagai kaum
agamis, moralis, pancasilais namun kita bisa dan biasa berlaku sadis pada masyarakat
yang dianggap pengkhianat dan bahkan kita tidak mencari asal-usul kebenarannya.
Esok tanggal 30 September 2015 seperti biasa saya akan
berdoa agar para pahlawan revolusi dan para korban pembunuhan, serta korban
ketidakadilan sistem hukum di Negara ini dapat memaafkan kita dan Negara ini.
Mari memaafkan meski mungkin tidak melupakan.