Puisi, salah satu karya prosa yang terikat pada aturan tertentu. Saya tak hendak menjelaskan bagaimana puisi, pembagian puisi, sahabat bisa cekidot di http://riniintama.wordpress.com/2012/11/12/struktur-puisi/ .

Saya menikmati puisi sejak SMP. Saat SMA di tengah tahun 90, PORSENI (Pekan Olahraga dan Kesenian), seleksi kelas adalah ajang tipi-tipi salah satu yang mendebarkan, karena saya berambisi menjadi pembaca puisi yang dapat memenangi lomba tingkat kabupaten. Sayang saya selalu kalah di teknik, artikulasi dan pengucapan yang belum mencengangkan juri. 

Saya masih ingat selalu ada dua jenis puisi yang harus dipilih yaitu, puisi wajib dan puisi pilihan. Biasanya puisi wajib, mempunyai judul beraroma nasionalisme seperti Doa Serdadu Sebelum Berperang milik WS Rendra, Cerita Buat Dien Tamaela, Karawang – Bekasi milik Chairil Anwar, Tiga Karangan Bunga milik Taufik Ismail dan sebagainya. Kemudian pada puisi pilihan yang beraroma romantik-relijius seperti Hujan Bulan Juni milik Sapardi Djoko Damono, Cintaku Jauh di Pulau, Do’a (kepada Pemeluk Teguh) milik sang maestro Chairil Anwar, puisi kontemporer “sulit” milik Sutardji Calzoum Bachri seperti yang berjudul Tapi dan sebagainya

Pada tahun 1990an, rata-rata dari puisi dari penyair angkatan 1945 dan 1966 menjadi kiblat. Tentu penyair yang diakui oleh Orde Baru yang saat itu berkuasa. Puisi milik Gunawan Muhammad, Umbu Landu Paranggi apalagi puisi perlawanan Wiji Thukul seolah tak nampak. Demikianlah suatu pemerintahan pun dapat turut campur dalam perkembangan sastra.

Coba sahabat membaca dan menikmati karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Tapi yang diciptakannya pada tahun 1981, di mana pada saat itu ia melahirkan puisi kontemporer yang bermain-main dengan diksi dan anti semiotika:

TAPI
aku bawakan bunga padamu
                                       tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
                                       tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
                                       tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
                                       tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
                                       tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
                                       tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
                                       tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
                                       wah!

Diikuti oleh dedengkot Horizon lainnya, Jamal D. Rahman, masih juga bermain-main dengan hiperbola:

Rubaiyat Januari
1
biar diam pecah di bismilah batu-batu
takkan patah alif-alif tiang perahu
tempat berkibar biru senja gugusan cintaku
mengarungi namamu di keluasan tubuhku
2
dari tubuhku berlahiran kunang-kunang bianglala
di lengkung bianglala matahari pun terbakar
di gemercik sungaiku batu-batu memadatkan suara
di lengkung suara diammu pun pasti kudengar
3
kudengar juga puisimu di derit-derit pintu
ketika angin memainkan sunyi rumahmu
kucari-cari engkau di linang airmataku
ketika angin mengabarkan isak rindumu
4
yang berlinang di airmatamu adalah rinduku
di airmataku rindumu berlinangan juga
yang berenang di air tubuhmu adalah cintaku
di air tubuhku cintamu mengekalkan bianglala
5
berapa lama aku harus memeras sunyi
seribu bulan ataukah sepanjang diam atas debu
di balik malamkah wajahmu sembunyi
ataukah di kedalaman cintaku
6
ah, di kedalaman cintaku wajahmu sembunyi
membakar gelisah di tungku matahari
di geriap darahku nafasmu begitu sunyi
memutihkan rangka tulang-tulangku lagi
7
engkau geriap darah di kemarau tubuhku
gugur angin kering dan basah kulitku kembali
daunan pun tumbuh dari ajal-ajal kuku
sebab tanganmu hijau pupus bergaris januari
8
sebab tanganmu hijau pupus bergaris januari
di jemariku takkan tumbuh kuku yang lain
sebab tanganku garis putih berembun februari
lekuk jemarimu takkan bisa di buku yang lain
9
di buku-buku tubuhku ilalang mengering
pecah kemarau dan tanah tinggal ruas sepi
hanya tanganmu, hanya tanganmu tak pernah kering
menyalami ilalang sebelum mengabu di sepi api
10
karena cemas dicabik-cabik layar waktu
kujahit cintaku di angin semilir
lalu aku pun kembali pada batu
menikmati diammu di ricik-ricik air.

Kita tak boleh lupa seterusnya ada Zawawi Imron, Caknun, Gus Mus dan nama yang berkibar di panggung lokal. Ada Mashuri, Tengsoe Tjahyono, Surabaya, Dimas Arika Jambi.

MADURA AKULAH DARAHMU
(Zawawi Imrom)

di atasmu, bongkahan
batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga
doa
biar berguling di atas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri
cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu

seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

di sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu

aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.

Puisi-puisi “gelap” dari Goenawan Muhamad, Afrizal Malna dan Wiji Thukul besar dalam “pengasingannya”, dibaca dari stensilan atau milis-milis yang jauh diendus pemerintahan. Jangan dilupakan juga puisi “lucu” Prie GS, Joko Pinurbo. Untuk Sitok Srengenge? Saya tidak akan pernah membahas “penyair syair berdarah ini”.

Mungkin seperti inilah penampakan puisi gelap :

Chanel OO

Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman
Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.

1983 (Karya Sapardi Djoko Damono)

Tuan

Tuan Tuhan, bukan?  Tunggu sebentar,
saya sedang keluar. 

(karya Afrizal Malna)

Sangat berbeda dengan puisi pamflet Wiji Thukul:
P E N Y A I R

jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!

sarang jagat teater
19 januari 1988


Kemudian era gegap gempita media facebook dan mikrobloging yang memunculkan “penyair” baru. Saya menominasikan tokoh KRS- Alek Subairi, Dodi Kristianto, parikesit n1nna dan  Irwan Bajang.  Semoga mereka konsisten menulis puisi, mari merayakan puisi. Ingin tahu puisi mereka? Coba cari di buku atau di media maya.


Setelah kumpul-kumpul yang dimulai sejak tahun 2006 yang dimotori oleh Meg, L, Heningswara dan n1nna mempunyai nama yaitu deNL, sejak itu pula timbul keinginan untuk tidak sekedar kumpul-kumpul. Lalu salah satu menyarankan untuk mengadakan arisan, dan sejak 2008 arisan pertama dilakukan.

Tahun itu, arisan para deNL mempunyai anggota belasan lesbian tanpa label yang sebagian besar berusia awal 20an. Terdorong jiwa muda dan semangat untuk mengumpulkan lesbian yang punya energi positif, arisan melebarkan sayap dengan melakukan pengumpulan dana pada tiap arisan dan bakti sosial pertama diadakan di tahun berikutnya.

Bakti sosial pertama diadakan di saat puasa Ramadhan, dibagikan ta'jil berupa kurma dan air putih di beberapa titik perempatan yang ramai di Surabaya.

Tahun 2010, memakai konsep yang sama seperti tahun sebelumnya dan dengan latar belakang Ramadhan, ta'jil kembali dibagikan di perempatan-perempatan Surabaya.

 Undangan partisipasi My Worth Ramadhan 2010.

 Resume pertemuan untuk jadwal dan lokasi pembagian ta'jil My Worth Ramadhan 2010.

 Bahu-membahu untuk membungkus ta'jil yang akan dibagikan, My Worth Ramadhan 2010.

 Bungkusan yang siap dibagikan, My Worth Ramadhan 2010.

 Koordinasi lapangan My Worth Ramadhan 2010.

 Salah satu titik tempat pembagian ta'jil My Worth Ramadhan 2010, jl. Airlangga.

deNLers berpose bersama di My Worth Ramadhan 2010.


Tahun 2011, dengan donasi yang bertambah, fokus yang lebih baik dan setelah bongkar-pasang anggota dan motor inti, bakti sosial diadakan tidak hanya membagikan ta'jil di perempatan. Pembagian parcel untuk hari raya dilakukan di Kampung Seng Medokan di daerah Keputih Surabaya.

Tahun 2012, selain memberi nama Iwak Peyek pada arisan deNL yang rutin dilakukan tiap bulan pada wiken kedua, dilakukan pembagian ta'jil di perempatan dan buka bersama disertai pembagian parcel hari raya di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih Surabaya.


 Peninjauan lokasi Liponsos di Keputih, Surabaya.

 Persiapan ta'jil, parcel dan buka bersama.

 deNLers dan para volunteers tiba di lokasi.

 Sesi perkenalan dengan para penghuni Liponsos.

 Sebagian perempuan penghuni Liponsos (yang dapat melakukan aktivitas mandiri).

 Sesi pembagian parcel dan kotak makan buka puasa.

 Sesi curahan hati para penghuni Liponsos ke para deNLers dan volunteers.

 Pembagian parcel dan kotak makan buka puasa penghuni Liponsos yang tidak bisa beraktivitas mandiri.

Pembagian kotak makan buka puasa. 

 Para penghuni Liponsos sedang menikmati menu buka puasa.

 Para penghuni Liponsos yang bisa beraktivitas mandiri dan memasak.

 Dilanjutkan pembagian ta'jil di sejumlah titik perempatan di seputaran jl. Nginden.

 Para deNLers dan volunteers membagikan ta'jil.

 Ta'jil dibagikan kepada pengguna motor dan becak.

 Ta'jil dibagikan secara tertib agar tidak terjadi kemacetan.

deNLers dan para volunteers berbuka bersama setelah bakti sosial.


Nama Iwak Peyek diambil spontan namun bukan hanya karena lagu itu sangat populer saat itu. Anggota deNL awal berasal dari lesbian dengan keuangan menengah ke bawah, sebagian mencari nafkah dari ijasah SMA dan sebagian lain sedang bersekolah. Berkumpul di tempat-tempat yang tidak keren sudah menjadi aktivitas bulanan yang sulit ditinggalkan karena mendapati para deNL ini tak melulu soal pamer harta, rebut-merebut cewek atau tikam-menikam sesama teman seperti kebanyakan perkumpulan lesbian muda yang pernah dialami para deNL. Dan pada awalnya mencari sesama lesbian yang punya energi positif di tempat-tempat "nggak keren"bukanlah pekerjaan mudah. Sebagai contoh tempat yang tidak keren untuk berkumpul empat pioner deNL adalah warung bakmi di bilangan Karang Rejo Sawah. Atau sebuah rumah yang akhirnya digusur di pinggir Kali Jagir.

Berasal dari rakyat jelata yang sehari-hari makan tempe goreng, tahu atau kadang makan dengan iwak (=lauk) peyek (rempeyek, makanan renyah yang berasal dari tepung yang digoreng tipis dengan tambahan kacang atau teri atau kedelai), nama Iwak Peyek akhirnya dipilih karena memang mewakili kesederhanaan yang menjadi awal mula deNL. Saat ini deNL mempunyai anggota dengan berbagai macam latar belakang yang semuanya punya kesamaan tujuan: menciptakan lingkungan pertemanan lesbian yang positif.

Di tahun 2013 selain pembagian ta'jil yang dilakukan di Rumah Sakit Umum dr. Soetomo, dilakukan juga buka bersama ibu dan anak dengan HIV positif serta pembagian parcel hari raya kepada mereka.

Tahun ini, 2014, deNL ingin mendirikan suatu yayasan yang dapat menyalurkan energi positif yang dimiliki oleh para anggotanya. Empat motor deNL saat ini, Niken, Erna, Heningswara dan n1nna sedang merintis dan berusaha mewujudkannya dalam lima tahun ke depan.

Sementara pengisian kegiatan yang ada masih arisan dan bakti sosial.

Semoga apa yang diwiwidi dengan niat baik, dapat tercapai dengan baik dan berlangsung baik.


*tulisan ini dibuat untuk merayakan tujuan baru deNL sekaligus ulang tahun lima orang motor deNLworld di bulan Maret-April: L, Erna, Meg, n1nna dan Niken.


Aku suka banget memasak, apa lagi memasak untuk partner, tapi partner sepertinya kurang cocok dengan masakanku. Walaupun begitu, setiap kali aku memasak untuknya selalu dia makan.
Partner suka sekali dengan Kari Jepang.
Jadi kali ini aku akan berbagi resep masakan Kari Jepang, dengan bumbu jadi dari super market, sih, hihihi...

Bahan-bahan:
- Daging sapi
- Sosis sapi
- Wortel
- Kentang
- Bawang bombai dirajang halus
- Bawang putih dirajang halus
- Susu cair non gula
- Bumbu Kari Jepang siap saji

Cara memasak:
- Masukkan daging dan sosis ke dalam wajan yang sudah diberi margarin, tumis hingga warna berubah
- Masukkan bawang putih ke dalam wajan, kemudian bawang bombai tumis terus hingga bau wangi dan berubah warna, hati-hati jangan sampai gosong
- Kemudian masukkan susu ke wajan tadi, aduk-aduk hingga rata
- Masukkan wortel, kentang, daging dan sosis, tutup hingga mendidih atau hingga wortel dan kentang empuk
- Kemudian api dimatikan. Setelah itu masukkan bumbu kari siap saji
- Taraaaaa... jadilah makanan Kari Jepang. Jangan lupa dicicipi, bila kurang sedap dapat ditambah penyedap rasa atau kecap asin. 

Selamat mencoba.

Tips:
- Sebelum daging ditumis, lebih baik di rebus terlebih dulu biar empuk
- Cara mengiris daging usahakan searah dengan seratnya, biar makannya enak
- Untuk bumbu kari cukup gunakan 3 blok saja, itu bisa untuk 10 orang lebih. Kalau mau dimasukkan semua biar lebih kental juga boleh.




Tantangan diselesaikan menjelang deadline itu sesuatu yang seringkali menggairahkan. Namun juga kadang menjadi blunder kalau kita tidak segera bertindak. Blog ini memilih tema secara aklamasi setelah adu pendapat. Jadi tema bulan ini adalah memasak.

Bagi saya memasak seperti menulis, tidak ada ide, tidak ada fantasi maka tidak ada tulisan. Pekerjaan meng-create, menulis, memasak adalah pertama kali tergantung bahan atau gagasan. Penulis ternama seringkali mempunyai gagasan yang unik, atau mungkin hanya sederhana tapi pasti cara menyajikan/menuliskannya akan menjadikan fans tetap setia padanya.  

Begitu pula memasak, fantasi, ide, kreasi adalah hal dasar.  Ide-ide yang brilian dan kita mendapatkannya dalam hasil akhir seperti burger, ayam lodho, steak, jajanan dan berbagai kuliner lainnya. Penjual kue atau masakan tradisional maupun master chef restoran terkenal adalah pencetus ide-ide yang sangat kreatif. Setelah bahan/gagasan ditentukan, maka bahan dasar dan bumbu adalah sesuatu yang mutlak harus ada. Memilih bahan, bumbu tergantung gagasan kita. Bila kita semakin ahli maka kita akan menyeleksi bahan-bahan tersebut. Cara memasak juga mempengaruhi keberhasilan masakan. Itu adalah tergantung pengetahuan, kreasi dan teknik anda.  Apakah masakan itu tetap mengandung gizi, apakah akan beracun  apalagi pengetahuan tentang siapa yang memakan, apakah ia alergi bahan tertentu, apakah ia trauma dengan makanan tertentu? Apakah ia harus menghindari makanan tertentu karena penyakit lainnya? Maka seperti menulis, meningkatkan teknik memasak dan pengetahuan akan orang lain hanya ada satu cara, terus berlatih dan terus mengenal siapa orang yang akan menikmati masakan kita.

Lihatlah dapur orang-orang miskin, kreasi adalah nomor satu dan gizi adalah nomor berikutnya. Di dapur orang-orang miskin ada “ngrowot”, ada sayur “lompong”, sayur “blendhi”, tempe “gembos”, tempe “bungkil”, kompyang dan sebagainya. Jangan lupakan Cap Jay dari Tiongkok, ada yang bilang bahwa asal muasal Cap Jay adalah sisa-sisa sayuran dari dapur orang kaya yang diberikan pada pengemis. Cap adalah angka 11 dalam bahasa Tiongkok, konon  Cap Jay yang pakem adalah mempunyai 11 jenis sayur bercampur daging-dagingan. Salut untuk mereka. 

Memasak juga adalah ritual dan tradisi. Kuliner, gastronomi adalah salah satu identitas. Bagaimana tradisi lemang, tradisi “njenang”, tradisi bakar batu, tradisi “rewang”, bahkan tradisi “ngeliwet” adalah identitas Negara ini yang mungkin saat ini kita semua hanya tahu namanya tidak tahu prosesnya.

Saya cukup berbahagia tumbuh besar di desa, yang ketika era Soeharto kami belum mendapat listrik dan gas, asupan gas. Kami masih menggunakan dapur tungku atau bahasa lokal menyebutnya tumang/pawon/luweng, masih men-tradisikan membuat jajanan dan masakan di atasnya. Sebut Wajik, Madumongso, Jenang adalah penganan yang rasa dan aromanya menjadi signature keluarga kami berkat luweng.

Saya pikir tiap orang mesti punya signature dalam memasak, meski itu hanya membuat mi instan, menggoreng telur. Ada jejak pribadi apabila kita memasak untuk sekedar kita makan sendiri, apalagi bila kita memasak untuk orang tercinta.  Memasak yang sederhana adalah untuk survival, memasak bagi orang tercinta apalagi memasak untuk komersial bukan sekedar kewajiban dan hal main-main. Kita harus mengenal diri kita, orang lain, apakah bahan yang kita masak dan cara memasak kita benar-benar bermanfaat baik secara spiritual maupun fisik? Bila kita sudah expert memasak, apakah hasil memasak itu sekedar show-off bahwa kita bisa atau hanya modus seperti yang Ragil atau Hening lakukan dalam memikat gebetan

Kalau saya masih belajar dan mengkhususkan diri expert dalam hal sambel tempe, ada komposisi bawang, cabai, garam, gula, tempe yang selalu membuat saya belajar menciptakan kelezatannya. Maka saya sangat berharap bila bro dan sis menikmatinya dengan kondisi lapar dan mencintai saya apa adanya. Karena dengan lapar dan mencintai, anda akan sanggup memakan apapun yang dihidangkan. Kalau racun? Lupakan, itu bukan makanan. Dan percayalah orang yang mencintai anda akan belajar lebih, lebih untuk menciptakan masakan yang lebih baik. Cinta bukan saja datang dari mata namun juga dari perut.

Selamat berlibur di long week end, selamat memasak.


Seperti menggenggam takdir di tanganmu. 

Seperti apa rasanya? 


M
ungkin, aku akan takut memejamkan mata, takut genggamanku terbuka, dan tiba-tiba saja kau tak lagi di sana. 
A
ku akan membacanya hingga habis usia, dan memastikan semua baik-baik saja. 
D
an, mungkin aku akan terkapar kelelahan membelokkannya ke arah yang tak ada sela. 

S
eperti menggenggam takdir di tanganmu, seperti apa rasanya? 

M
ungkin, semua tak harus baik-baik saja—meski kau ingin semua baik-baik saja. 
S
eperti menggenggam takdir di tanganmu. 
Itulah kita. 
B
ukan karena tak yakin genggaman tak akan erat. 
Hanya saja, takdir.
Ah iya, aku pikir, aku tak kuasa menggenggamnya.

Awalnya hanya dari basa basi busuk di Twitter. Chit-chat berbalas yang bermula dari keisengan seorang teman lama di waktu kuliah untuk mengenalkanku dengan orang yang menurutnya sendiri menarik. Dan memang, dia menarik. Bercandaannya lucu, dan bahasaku yang terkesan sangat formal menurutnya juga menjadi sangat lucu (bagaimana ceritanya coba, bahasa formal dianggap lucu?). Dan di sanalah kemudian semua menjadi cerita bak fairy tale. Berlanjut dengan telpon-telpon sampai larut malam, kami menjadi akrab. Mengabaikan teman lamaku yang ternyata jatuh cinta juga dengannya. Sampai kemudian kami mencoba bertemu face to face, membuat janji meluangkan waktu bersama dengan nongkrong di KFC A. Yani. Dia bilang sengaja pulang lebih awal untuk melarikan diri dari rutinitas kerja di luar kota perbatasan Surabaya untuk ketemu. Aku yang waktu itu sedang ada rutinitas meeting koordinasi gelagapan mencari cara melarikan diri.

Aku tiba lebih dulu dan memesan makanan, menunggu dia yang tidak berapa lama kemudian muncul. Oya, aku suka sekali perempuan yang berkacamata. Kejutan menariknya yang lain sampai membuat aku malu-malu dengan muka yang pasti saat itu langsung berekspresi liur menetes. Dia perempuan yang saat itu memakai setelan formal dan BERKACAMATA.  Awalnya saya berpikir mungkin saja aku sedang dikerjain remaja-remaja alay seperti kebanyakan yang diperkenalkan lewat dunia maya, tapi dia berbeda. To the point, tegas, berprinsip dan serius. Ini awal yang luar biasa untuk jatuh cinta bukan?

Di mulai dari jam 15 lebih sekian menit, dari awalnya makan di ruangan ber-AC, sampai berpindah keluar dan berakhir hampir tengah malam, kami berbagi banyak cerita. Saling bertanya dan menjawab banyak hal, dan berakhir di depan rumah di mana saya tinggalSempurna.

Hari berikut ketika teman dekatku mengajak untuk kopi darat dengan si dia, aku yang hilang kendali. Takut pendekatan diam-diam kami terungkap. Memang sesuatu yang salah akan selalu membuat kita tidak pernah bisa tenang.

Begitulah, di pertemuan itu kami bertiga nongkrong di Coffee Corner, ngobrol seru dan kemudian main truth or dare. Saat bermain itulah sebuah pertanyaan membuatnya harus bersikap jujur, tentang orang yang saat ini dia sukai. Jawabannya membuatku terdiam, bingung, tapi tidak bisa menyembunyikanku dari rasa yang lebih dominan, senang. Dia bilang sedang menyukai seseorang yang dia temui untuk yang kedua kalinya, dan orang itu (sangat yakin) adalah aku.

Begitulah semua bermula, hampir selalu ada kesempatan di mana kami bisa lebih dekat dan menumbuhkan apa yang sudah kami mulai. Hingga kami bersama. Meskipun tidak lama, segala yang tidak terbendung itu hingga saat ini masih juga berkembang, meskipun kami tak lagi memiliki ikatan ataupun intensitas yang sama.

Satu moment yang tidak terlupakan adalah ketika saya mengingatkannya untuk makan, atau perhatian-perhatian lain yang menurutnya itu berlebihan. Dia orang yang tidak mudah untuk menuruti kehendak orang lain. Dan itulah menariknya. Di saat jengah karena keras kepalanya untuk punya pola hidup (makan) yang teratur, sering saya frustasi untuk membuatkan dia sesuatu yang bisa selalu dia makan di tengah aktivitas ataupun di saat leasure time-nya. Terbawa dari kebiasaan yang ku alami di rumah, Ibu saya orang yang selalu berusaha memasakkan apa saja yang diinginkan anak dan suaminya, karena Bapak saya tidak pernah mengijinkan kami membeli makanan dari luar (ini juga yang mungkin membuat saya saat ini –seperti kesetanan- menikmati makanan selain masakanku sendiri atau masakan rumahan lainnya).

Aku sangat suka memasak, tapi aku juga tidak membiarkan diri terbelenggu dengan tidak menikmati kebebasan merasakan masakan dari luar. Dia dan banyak teman-temanku bilang bahwa aku orang yang suka membuang uang untuk membeli makanan yang akhirnya tidak ku habiskan (kebiasaan buruk yang sampai sekarang tidak bisa ku kendalikan) karena keinginan lebih besar dari pada kemampuan perut menerima makanan (mungkin). Lidahku lebih pemilih karena mencari yang terbaik untuk memanjakan diri, di saat masih punya kesempatan.

Ketikapun bersamanya, keinginan terbesarku adalah sekali waktu kami mempunyai kesempatan bersama. Aku akan memanjakannya dengan memasakkan makanan yang tidak akan terlupakan, membuat moment dinner romantis di rumah, membangunkannya dengan hot chocolate kegemarannya, menyiapkan camilan yang akan membuatnya tidak rela meninggalkan kebersamaan kami.

Kesempatan itu pernah ada, bersamanya di dapur. Sebenarnya bukan memasak, hanya menghangatkan kare rajungan yang ku bawa dari langganan kami di luar kota. Saat aku menghangatkan kare, dia tiba-tiba memeluk dari belakang, dan menciumku kemudian bilang, "Makasih sayang."

Memasak itu hal yang sangat indah dan banyak sekali pembelajaran yang bisa kita ambil dari memasak. Selalu ada filosofi dari semua hal yang kita lakukan ketika memasak.

Jangan masukkan irisan bawang atau bumbu yang sudah diulek ke dalam minyak yang terlalu panas, karena selain meletus-letus, juga bumbu bisa langsung gosong. Ini bisa diartikan dengan: Jangan biarkan persoalan terlalu memanas, sehingga apapun solusi yang ditawarkan tidak akan mempan, malah berbalik ke diri kita sendiri. Sebaiknya tangani konflik sebelum mencapai klimaks, atau tunggu hingga panasnya reda, baru memberikan saran.

Dengan takaran yang tepat, penanganan yang sesuai resep, serta suhu oven yang akurat, maka sebuah cake akan mengembang sempurna yang berarti: sebuah hubungan, baik percintaan maupun bisnis, harus ditata dengan hati-hati, langkah demi langkah, dan sesuai takarannya agar bisa berkembang menjadi hubungan yang memuaskan bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Taburan garam dan gula pada sebuah masakan dapat menggantikan vetsin yang berbahaya bagi kesehatan. Artinya: setiap kenikmatan hidup yang merusak tubuh dan jiwa sebenarnya memiliki bahan penggantinya yang lebih aman dan sehat. Kita hanya harus disiplin mengalihkan diri dari yang merusak ke yang tidak merusak.

Masuk ke dalam inti tulisan ini, sebenarnya aku hanya ingin berbagi tentang sedikit memaknai filosofi (kalau boleh dikatakan seperti itu) di dalam memasak itu sendiri. Buatku memasak hampir sama prosesnya ketika kita menjalani kehidupan kita sendiri, di sana ada proses yang berjalan, ada kesabaran, ada persiapan, ada proses mematangkan dan juga menghidangkan atau menyajikan.

Sama seperti hidup kita sekarang yang ku pikir hampir mirip dengan proses memasak itu sendiri, saat pertama kali kita dilahirkan hampir sama ketika kita sedang mempersiapkan bahan-bahan dalam memasak, kita sebagai “bahannya”, kehidupan adalah bumbu-bumbunya lalu ketika kita mulai beranjak dewasa kita mulai sekolah, dari SD sampai perguruan tinggi, itu semua menurutku adalah sebuah “bumbu-bumbu” yang ditaburkan kepada kita sebagai” bahan dasar” dari sebuah “masakan” kehidupan hingga suatu saat kita akan “disajikan atau dihidangkan” ke dalam sebuah “perjamuan” kehidupan yang sesungguhnya.

Didalam memasak kita diajarkan oleh yang namanya proses, mulai dari menyiapkan bahan, memanaskan minyak, mencuci sayuran, memotong bumbu-bumbu hingga yang lainnya dan itu sama dengan hidup kita sendiri yang mana hidup adalah berproses sedikit demi sedikit, bertahap dan tidak serta merta langsung sebuah menjadi “makanan” jadi. Ada sebuah proses di dalam hidup kita.

Sebuah proses yang harus benar-benar kita lakukan untuk mendapatkan “cita rasa” yang pas dalam hidup kita, kita harus benar-benar menjalani hidup kita sebagai bagian dari proses hidup kita sendiri agar kelak nanti ketika dewasa kita menjadi seorang manusia yang berguna, bermanfaat, dapat “dinikmati” dan dapat membuat orang di sekeliling kita nyaman dengan diri kita. Dalam memasak juga kita diajarkan untuk menggunakan kesabaran kita, masakan yang akan kita masak tidak akan menjadi baik dan enak ketika kita terburu-buru dalam memasaknya, dan dalam hidup pun seperti itu dalam proses tadi kita diajarkan bahwa sebuah kesabaran adalah kesediaan untuk menjalani prosesnya satu demi satu.

Dunia ini diciptakan berproses. Kesabaran berarti menikmati proses tersebut. Kita tak bisa mendadak menjadi kaya, pandai, dan sukses dalam suatu hal tanpa proses. Kita harus mau bersabar menjalani prosesnya dari hari ke hari. Dalam hal ini berlaku hukum pertumbuhan dan sebab akibat, kita hanya menuai apa yang kita tanam. Atau ada yang bilang gini, "Kesabaran adalah saudara kembar dari keberanian bertindak. Kesabaran adalah denyut nadi yang menentukan seberapa lama keberanian untuk terus mencoba, tetap bertahan dalam diri seseorang. Kalau kita bersabar Anda akan benar-benar menikmati saat-saat terindah dalam hidup Anda."

Begitulah juga dengan hubunganku dengannya, semua proses yang tidak pernah kami lewati membuatku tidak pernah berhenti berharap. Seharusnya kami tidak semudah itu menyerah.


Bukan masalah takdir yang terjadi dan hanya apa adanya
ini asa kita meraih bahagia

J
angan takut memejamkan mata..
karena dalam gelap kita mampu membayangkan apa saja yang kita suka..
...jangan takut genggamanmu terbuka..
karena kita juga perlu memberinya ruang agar nafasnya lega..
mungkin kau tak akan selamanya di sana..
tapi kau selalu ada dalam hati dan kenangan yang kupunya..

mari kutemani membaca..
jalan kita masih sama..
meski arahnya mulai berbeda..
jika lorong kita tak ada sela..
maka mari luangkan jeda untuk mencipta sedikit celah rahasia..

*percay
alah
ini bukan tentang takdir yang telah sedemikian rupa terukir..
ini masalah sekuat apa kita yakin dan sebesar apa upaya kita yang mengalir*

 




**sebagian tentang filosifi diambil dari blog orang lain

 


Bulan Februari identik dengan bulan cinta, iklan merayakan hari penuh kasih bertebaran di mana-mana, biasanya sih untuk sepasang kekasih. Tapi yang ingin saya tuliskan saat ini bukan tentang cinta sepasang kekasih, tapi cinta kepada orang tua. Sebesar apa sih cinta kita kepada orang tua kita?
Ada pepatah yang mengatakan kasih sayang orang tua sepanjang masa dan kasih sayang anak sepanjang jalan. Menurut saya pepatah itu bukan hanya sekedar pepatah tapi suatu kenyataan. 

Coba sekarang kita renungkan ketika orang tua minta sedikit waktu dari kita pasti banyak alasan untuk menolaknya. Sedangkan saat kita kecil, 24 jam non stop orang tua memberikan waktunya untuk kita, sampai sekarang saya juga tidak mengerti kenapa bisa seperti itu.

Pernah ada teman saya yang bilang seperti ini, "Kamu enak masih punya orang tua, masih bisa berbakti dan masih diarahkan kepada hal-hal yang baik. Sedangkan aku sudah tidak mempunyai orang tua, tidak ada yang mengarahkan ke hal-hal yang baik," padahal semasa orangtuanya hidup dulu dia hanya sedikit memperhatikan dan membahagiakan orang tuanya.

Ada pepatah lain yang mengatakan bahwa kita tidak akan pernah merasa kehilangan jika kita tidak benar-benar kehilangan. Mungkin hal seperti inilah yang dirasakan teman saya tadi. Ketika orangtuanya sudah tidak ada, dia sangat menyesal mengapa tidak dari dulu dia membahagiakan mereka.
Jadi sebelum kita kehilangan orangtua, alangkah baiknya bila kita mulai memberikan segala hal yang bisa membuat orangtua kita tersenyum dan tertawa bahagia.


Begitulah, hari ini mari kita merenung sejenak. Tema bulan ini adalah cinta, seperti kembali mengulas karya-karya Gibran dan mengelupas luka-luka atau menelusuri harapan yang biasa kita sebut atas nama cinta. 


Seperti bernafas, rasa cinta seperti itu. Ada, merasakan dan tidak merasakan, kita hidup adalah bukti cinta Tuhan, buah cinta ayah-ibu biologis, atau yang ekstrim hanya karena cinta ibu saja. Kita menjadi manusia hari ini karena ada diri kita dan orang lain yang mencintai kita.

Jika cinta itu seperti air lalu orang yang kita cintai adalah cawan, maka apakah air itu akan sanggup mengisi dengan sempurna cawan itu? Apakah dengan adanya air maka cawan itu berubah indah? Gelas anggur anggun untuk anggur yang istimewa, tetapi kadang anggur pun bisa kita minum dari gelas biasa. Kopi dalam cangkir keramik kadang bisa kita minum dalam gelas kaca biasa, bahkan terkadang teh yang tersaji dalam gelas bisa kita minum dalam cangkir kertas bahkan plastik.

Terkadang begitu lama kita memiliki cawan namun tak mampu mengisi dengan penuh airnya, bahkan kadang kita merasa tidak mempunyai air sedikitpun. Atau kita merubahnya menjadi pasir dan batu sehingga cawan itu menjadi pecah. Kita lupa, cawan hanyalah diisi dengan air bukan batu atau pasir. Atau kadang kita akan memoles cawan itu dengan berbagai macam warna agar kita tidak bosan padahal ketika kita meminumnya tetap saja rasanya.

Atau kita akan menginginkan mempunyai banyak cawan, hanya karena air yang terlalu melimpah atau kita merasa kurang dengan satu cawan?

Airpun juga dapat menurun atau meningkat kualitasnya, atau juga menjadi air yang berbeda maka dapatkah cawan itu menerima perubahan ?

Ataukah air itu harus diminum lalu cawan itu kita remukkan, kita miliki itu tergantung kepentingan dan kebutuhan kita.

Yang lebih mengenaskan, terkadang kita memiliki banyak air namun kita tak mampu memiliki cawannya dan kita tetap hidup.

Selamat weekend teman, selamat merayakan cinta. Semoga Heningswara mengerti tulisan ini :)