Terkadang mengamati memang bisa melahirkan pemikiran baru, atau sekedar menghapus memikiran lama. Dan lagi-lagi mengganti dengan yang baru, entah kemajuan atau degradasi, tapi pasti diperbarui.

Mengamati bisa jadi introspeksi.........tapi.........

Jujur, aku malas terlalu mengamati. Kecuali memang pemikiran itu lahir dalam otakku sendiri, entah dibisikkan langsung oleh Tuhan, entah lewat kejadianku sendiri, atau entah lewat kesadaran apa. Tapi Tuhan selalu punya by-pass, jalan rahasia, menuju bilik hati umat-Nya.

Karena aku paling malas mengatakan a adalah salah, b adalah benar.

Sama halnya dengan makan tangan kiri adalah salah. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh orang yang misal (naudzubillah) cacat tangan kanan dan hanya punya tangan kiri. Salahkah? Bisa dia membayar orang untuk sekedar menyuapinya, tapi kalau tidak mampu bayar? Bukankah makan dengan keadaan seadanya lebih baik daripada tidak makan sama sekali yang hampir sama dengan bunuh diri???

Kadang kita terlalu mengukur semua dengan "KE-STANDARD-AN", dan parahnya keadaan standar kitalah yang sering dijadikan patokan. Di mana orang yang kayak gini, berbeda dengan cara kita, dibilang salah. Orang yang nyeleneh dibilang tidak baik. Garis itu siapa, sih, sebenarnya yang menciptakan?

Kadang aku mengamati, dan kalau yang dia lakukan berbeda denganku, ya sudah. Toh dia punya badan, jiwa, dari ujung kaki sampai ujung rambut (bahkan sampai rambut hidungpun) aku yakin berbeda denganku. Terus apa yang mau disamakan? Terus apa hakku men-cap dia??? Rasanya doktrin itu benar-benar tidak adil.

Dan apakah yang hitam benarlah hitam? Yang putih benarlah putih? Bukankah ada spektrum warna yang membuat semua menjadi abu-abu???

Aku peduli padanya, pada semua, tapi aku paling malas memberi estimasi. Toh kasih sayangku buat semuanya sama, dan hanya untuk orang tercintaku saja yg istimewa......dan lagi-lagi tak perlu diumbarkan sebesar apa 'kan?


0 comments to "Mengapa Harus Disibukkan Mengamati?"

Posting Komentar

just say what you wanna say