SING TEKO
Labels
- 2014 (26)
- 2015 (13)
- Agustus (3)
- April (4)
- Arthafreya (1)
- Bahasa (1)
- Bakti Sosial (2)
- Bullying (1)
- Cerita Pendek (2)
- Cinta (4)
- Cook (3)
- DE-NL-ERS (30)
- Desember (1)
- Dream (5)
- Efi (2)
- Erna (15)
- Februari (6)
- heningswara (20)
- Ibu (6)
- Januari (7)
- Juli (1)
- Juni (2)
- Kepada Rangga (1)
- Kontemplasi (26)
- Laki-Laki Terindah (3)
- LDC (24)
- Lesbrary (4)
- Liburan (1)
- Logo (1)
- MadRann (83)
- Maret (4)
- Maybe Yes Maybe No (3)
- Megha (7)
- Meghi (1)
- Mei (3)
- Mengeksekusi Hubungan yang Melelahkan (1)
- Merdeka (3)
- Meta (1)
- Mimpi (3)
- Missing Her (3)
- Move On (5)
- n1nna (1)
- Nadia (1)
- Neni (5)
- Niken (49)
- November (1)
- Oktober (2)
- Opini (1)
- Pahlawan (4)
- Puisi (94)
- Pusing (6)
- Rara (2)
- Resensi (7)
- Safe Sex (2)
- Sahabat (24)
- Self Awareness (3)
- September (2)
- Special Case (15)
- Tips (10)
- Vany (2)
Entri Populer
-
Judul buku: Flambe Penulis: Club Camilan Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Kota dan tahun terbit: Jakarta, 2014 Genre: Novel Dewasa ...
-
Apa yang membuat orang jatuh cinta? Apakah itu dari p anda ngan? Mungkin kamu pernah jatuh cinta pada seseorang karena kecantikannya, raut...
-
Sejujurnya saya bukan orang yang dekat dengan orang tua, terutama ibu. Sempat saya sangat membenci ibu. Waktu itu (mungkin tidak sengaja...
Kontributor
Jancuk.
Kosakata tersebut tidak artinya. Namun bila anda di Surabaya, mengucapkannya dengan tekanan nada dan ekspresi marah kepada lawan bicara, maka
anda telah membuka konfrontasi.
Apabila ucapan ini diucapkan dengan senyuman pada sahabat anda misalnya, “Jancuk, suwe gak ketemu koen” maka anda
akan mendapatkan balasan “ Cuk, iyoi,”
mungkin bonus pelukan.
Lain lagi bila anda mengucapkan di depan orang yang lebih tua atau bos
anda, setidaknya ucapan “Lapo cangkemmu misuh?” dengan nada
tinggi itu adalah hal yang akan anda temui, atau malah bogem dan surat delik
aduan penghinaan di muka umum atau perbuatan tidak menyenangkan bisa anda
dapatkan. Kalau yang mendengar adalah para pemakai tagline Indonesia Milik Allah
akan mengelus dada dan beristighfar, mungkin.
Bahasa memang alat komunikasi yang unik. Pada suku-suku yang
mengutamakan atau belum bisa meninggalkan ciri-ciri kedaerahannya, pemilihan
kata terhadap lawan bicara adalah sesuatu yang penting. Misal, suku Jawa
ada tingkatan bahasa Ngoko adalah bahasa
pergaulan antar kawula yang satu level atau antar teman. Kemudian kromo adalah
bahasa yang digunakan untuk level masyarakat bawah kepada orang asing atau kepada
yang lebih tua, sedangkan kromo alus yang
digunakan untuk level masyarakat kepada orang yang sangat dihormati, misal orangtua,
pejabat dan sebagainya. Dan tentu pemakaian bahasa tersebut disertai bahasa
tubuh yang mendukung.
Orang kalangan bawah atau orang asing yang memakai kromo kepada lawan bicara yang dituakan
dengan bahasa tubuh mata menatap langsung atau tidak mundhuk-mundhuk akan dicap kurang beradab bahkan menantang. Ribet
ya?
Dalam peradaban yang semakin maju dan terbuka, bahasa lisan
terus memutus mata rantai bahasa daerah menjadi bahasa persatuan. Maka
istilah-istilah kedaerahan semakin juga dibonsai dan kadang hilang.
Produk bahasa lisan dalam kesenian dan kebudayaan semacam parikan/bebasan/cangkriman di daerah Jawa Mataraman juga Surabaya, kidungan di
Surabaya kian berada di area sempit semacam seremoni, festival atau upacara adat yang juga dipenggal
bagian-bagiannya. Belum lagi produk bahasa lainnya semacam tembang, geguritan semakin terkikis menjadi model-model campursari,
koplo(?).
Yang menjadi pembeda bahasa persatuan atau penunjuk identitas
siapa pemakainya adalah dialek pemakainya. Di Surabaya ada bahasa dengan
dialek/cengkok Madura, peranakan Tionghoa, asli Surabaya dan sekitarnya. Namun
itu juga akan berubah bila anda ke daerah tapal kuda Jawa Timur, seperti Jember,
Situbondo dan Banyuwangi. Peranakan Tionghoa berdialek Madura sangat banyak.
Mari kita pahami bahwa bahasa lisan adalah tidak tergantikan
dalam komunikasi. Lawan bicara anda akan mengerti tujuan anda berbicara apabila
anda dalam menyampaikan informasi sama-sama satu level tingkat penguasaan
bahasa, level yang sama pilihan kosa kata dan emosi yang sedang-sedang saja. Tentu sebagai komunikator yang baik pakailah bahasa
tubuh yang mendukung dan bahasa cinta agar lebih dipahami.
Begitulah pilihan kosa kata dalam bahasa juga akan membuat anda
memiliki referensi buku penyair dan penulis siapa yang paling anda sukai. Gaya tulisan
teenlit, gaya motivator, sastra tentu
sangat berbeda antar penulis. Dan percayalah pengagum karya novelis teenlit bukan berarti lebih najis dari pengagum
karya novelis macam Ayat-Ayat Cinta atau Tetralogi Buru. Itu juga bukan karena kesalahan
guru Bahasa Indonesia saudara , karena kita kurang membaca dan kurang menulis
saja.
Ada adagium, peradaban suatu bangsa dicerminkan oleh penyair dan sastrawannya. Bangsa dikatakan beradab bila terdapat tradisi menulis. Dan menulis dimulai dari membaca. Dan tentu saja membaca lalu menciptakan teknologi, begitulah yang dilakukan oleh saudara tua bangsa Tiongkok dan Jepang.
Bukti anda beradab
dan cerdas adalah bila berbahasa dengan membawa kejengkelan namun perkataan anda
tidak menimbulkan konfrontasi. Misal anda akan meminta kenaikan gaji kepada bos
agar selevel dengan UMR. “Bos kalau anda
tidak mematuhi Perda daerah tentang UMR berarti anda tidak cerdas lhooo.” Cobalah
di depan forum meeting, saya yakin anda tidak dipecat. Selamat mencoba.
1 comments to "Bahasa, Identitasmu dan Identitas Peradaban"
EL says:
Atau coba bilang gini ke ibu :
"Ibu, saya sgt cinta ibu...tapi saya lesbian"
:Dgreat moment watched that film years ago...