Rainbow, pelangi......pada waktu kecil aku pernah menyaksikannya. Indah di mataku, serasa dekat, tapi pada saat ingin kusentuh justru sang pendar warna itu malah terbang mengikuti awan hujan yang berganti terang. Pada saat dia menghilang di ujung langit, aku hanya bisa tersenyum dan berharap kapan Rainbow akan datang lagi.

Beberapa kali hujan yang singgah di bumiku, Rainbow itu tak jua datang. Ah, lama nian kutunggu keindahannya, Rainbow terlalu sulit mengunjungiku. Bisikku dalam hati, "Tuhan ijinkan aku merasakan Rainbow sebenarnya dalam hidupku."

Dan sampai 15 tahun setelah aku melihat Rainbow pertama dalam hidupku, aku tak pernah lagi menyaksikan Rainbow. Dalam khayalku, Rainbow itu sangat indah, meski sekejap, dan keindahan adalah cinta, dan cinta memang tak bisa diukur dari lama tidaknya waktu. Karena cinta kecocokan jiwa, karena itulah bayangan tentang Rainbow cukup lekat di jiwaku. Andai aku bisa menemuimu, meski sekejap, kuingin ukir keindahan di sana!

Dan sampai 15 tahun kuberkhayal tentang Rainbow, sosok itu hadir. Ada tabir, ada suka, ada rasa, ada damai. Ada saja tembok teralis antara aku dan dia, namun aku tetap bisa menyaksikan sinarnya, sinar yang menempa kosong hatiku. Rainbow, betapa lama aku menunggu untuk menyaksikanmu lagi, dan kini kau telah menghampiri................dan seperti namamu: menghampiri untuk pergi lagi!

Jika aku bisa, sesegera mungkin 'kan kulukis segala warna, kupanjatkan di dinding langit hati kita, 'tuk merasakan hadirmu tak hanya sekejap saja. Rainbow, aku masih merindukanmu. Kapankah kau menjelma jadi lukisan jiwaku yang tak lagi menghilang???


Handphone-ku bergetar.

Dengan enggan kubaca nama penelponnya. Private number. Setelah beberapa saat aku menimang-nimang, akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telpon itu.

"Hallo," sapaku.
"Hallo, Ca. Ini Rosa."
"Rosa?" ucapku agak terkejut.
"Sudah terima undangannya?" tanya Rosa agak terburu-buru. Suasana hiruk pikuk di sekitarnya terdengar samar-samar.
"Undangan?" Buru-buru aku berjalan ke arah meja ruang tamu, menahan rasa pusing yang langsung muncul ketika aku bangun dari tempat tidur. Langsung kucari undangan yang disebut oleh Rosa. Ternyata housemate-ku menaruhnya di bawah tumpukan koran.

"Iya, aku post beberapa hari yang lalu. Harusnya sudah sampai tadi pagi."
"Oh, iya.. ada nih.. Undangan siapa, sih, ini?" kubuka undangan itu dan terkesiap melihat nama pengantin perempuannya. "Rosa! Kamu mau married? Kenapa nggak pernah cerita di email? Ngagetin
banget." aku masih belum pulih dari keterkejutanku. Kulihat nama pengantin prianya, memang pria yang Rosa pacari dua tahun terakhir ini.

Rosa tertawa senang mendengar keterkejutanku. "Ca, itu undangan belum disebar loh. Aku kasih kamu duluan sekalian bikin kejutan supaya kamu orang luar pertama yang tahu," ucapnya senang.
"Ya ampun Sa.. Kamu hampir bikin aku jantungan, tau nggak?" ucapku tanpa bisa menyembunyikan kesenangan yang juga aku rasakan saat itu.
"Ca, aku lagi buru-buru nih. Nanti aku kirim e-mail lagi ya," Lalu Rosa mengakhiri percakapan singkat kami.

Aku merebahkan diriku di atas sofa. Kupandangi lagi undangan yang masih kupegang. Rosa.. berapa umurnya sekarang? 23? Waktu memang cepat sekali berlalu. Aku sendiri sudah 27 tahun. Sudah bisa kutebak reaksi mama kalau tahu tentang hal ini nanti. Pernikahan Rosa memang alasan yang tepat untuk menyuruhku cepat-cepat cari pacar dan menikah. Aku tahu maksud baik mama. Tapi entah mengapa hati ini masih tidak bisa untuk menerima cinta yang lain. Hati ini seolah-olah masih diikat olehnya, oleh pria yang selalu ada di setiap sudut benakku, yang berada nun jauh di sana..
Umurku kira-kira sama dengan Rosa waktu papa mama mengenalkanku dengannya. Aku sedang kuliah tahun terakhir saat itu. Ia sedang liburan di Jakarta, dan orang tuanya yang merupakan teman baik orang tuaku membawanya ke rumah kami. Aku masih ingat kesan pertama yang kudapat sewaktu melihatnya. Tampan namun angkuh.

Bianca, kenalan sini sama Jason." Aku baru saja pulang dari kampus waktu mama memanggilku. Aku duduk di sebelah mama dan mengulurkan tanganku kepada laki-laki yang dimaksud mama itu.

"Bianca" ucapku singkat. "Jason" ia membalas uluran tanganku singkat lalu melepaskannya lagi. "Bianca, Jason ini lagi liburan dari Sydney. Kuliah kamu 'kan juga sebentar lagi libur, bisa kan kamu temenin Jason kalau dia mau jalan-jalan?" Aku menatap mama heran karena permintaan mama terdengar janggal sekali.

"Ok." jawabku singkat, malas memperpanjang percakapan di depan orang yang tidak kukenal.
"Jason, kamu catet donk nomor telponnya Bianca," mama Jason tiba-tiba angkat bicara. Aku baru ingat bahwa aku belum berkenalan dengan dua orang lagi yang duduk di sebelah Jason. Buru-buru aku berdiri dan menyalami mereka.
"Kayaknya kita yang tua-tua ngobrol di belakang aja, yuk," papa lalu membawa orang tua Jason ke taman belakang, meninggalkanku dan Jason berduaan. Sejujurnya aku merasa canggung sekali karena aku memang bukan orang yang mudah bergaul.
"Bianca," panggilannya membuatku sedikit terkejut.
"Ya?" Ia lalu melambai-lambaikan handphone-nya. Nomormu?" tanyanya singkat seraya memberikan benda itu kepadaku.
"Oh.." jawabku gugup. Kusimpan nomor handphone-ku di memori buku telponnya.
"Kamu miss call ke handphone kamu aja supaya kamu juga punya nomorku," ucapnya sewaktu aku hendak mengembalikan handphone-nya.
"Oh.." ucapku lagi. Aku benar-benar merasa bodoh sekali. Malu mungkin lebih tepat. Lalu kudengar tawanya meledak. Aku menatapnya heran.
"Untung mama kamu 'dah bilang kalau kamu anaknya pendiam dan pemalu," ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri yang kecoklatan.
Aku dapat merasakan pipiku memerah saat itu. Anaknya ternyata cukup menyenangkan, tidak angkuh
seperti yang aku bayangkan. Kami ngobrol cukup lama. Walaupun aku agak kaku pada awalnya, ia
berhasil membuat suasana lebih santai dengan cerita-cerita konyol.

Jason Tjiputra. Ia besar di Sydney dan jarang pulang ke Jakarta. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya dan sedang mencoba mencari pekerjaan. Papanya sebenarnya menginginkan ia membantu usaha keluarga
mereka namun ia bersikeras ingin mencari pengalaman dulu di sana. Sementara ia menunggu lamarannya diterima, ia pulang kembali ke tanah air.

Dimulai dengan telpon-telponan tiap malam dan sesekali pergi bersama keluarganya, kami mulai jadi dekat. Sekali waktu, ia bahkan nekat menjemputku di kampus. Sesuatu yang membuat geger
anak-anak di kampusku. Kejadian itu masih segar dalam ingatanku, karena pada hari yang sama itulah,
sesuatu merubah hidupku. Ia bersandar ke mobil mewahnya dengan gayanya yang angkuh. Tangannya dimasukkan ke saku celananya dan dari balik kacamata hitamnya, matanya seperti sibuk mencari-cari sesuatu. Aku hampir tidak percaya ketika melihatnya di lapangan parkir kampus sore itu. Buru-buru aku menghampirinya.

"Jason? Ngapain di sini?" sapaku sambil tertawa kecil, menyembunyikan rasa grogiku.
"Ca, aku mau ajak kamu jalan," ucapnya dengan senyum lebar tersungging di bibir merahnya. Aku terkesiap mendengarnya. Ini pertama kalinya dia mengajakku pergi berdua saja. Aku melirik
ke mobilnya, mencari-cari sopirnya.
"Sopirnya mana?" tanyaku polos.

"Aku yang nyetir donk!" ucapnya bangga.
"Hah? Nggak mau ah.. Kamu kan nggak bisa nyetir di sini," sahutku pura-pura panik.
"Jangan takut, aku dah latihan dari kemarin," ia lalu berjalan melewatiku dan membukakan pintu mobil
untukku. "Silahkan masuk, tuan puteri."
Aku bisa merasakan tatapan-tatapan yang tertuju padaku saat itu.

Bagaimana tidak, sore itu lapangan parkir sedang ramai-ramainya dan tiba-tiba saja ia datang dengan semua keglamourannya. Ditambah lagi statusku yang memang kurang mengenakkan di kampus ini. Merasa tidak enak, aku memilih untuk buru-buru masuk ke mobil sebelum mereka menganggap aku sedang pamer cowok.

"Kok diem aja Ca?" tanya Jason sedikit tidak enak.
"Lain kali nggak usah jemput aku," jawabku pelan.
"Kenapa sih memangnya? Nggak enak ama anak-anak di kampus? Biarin aja ah..." sahut Jason cuek. Ia sibuk mencari-cari lagu yang bagus dari CD changer-nya.
"Nanti aku diomongin yang macem-macem.."
"Diomongin apa sih?" tanyanya, kali ini agak lebih serius.
"Yah.. apa kek gitu.. Kamu tahu bagaimana sikap mereka sama aku? Mereka tuh nggak suka
sama aku," jawabku sedikit sedih mengingat celaan apa saja yang pernah ditujukan kepadaku.

"Mereka cuma sirik sama kamu.. Udah pinter, kaya, cakep lagi. Plus dijemput ama cowok keren begini.. Kayaknya emang mereka bakalan makin sebel sama kamu sih."
Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya. Entah kenapa, Jason bisa membuatku merasa dihargai dan berarti meskipun ia tidak pernah mengatakannya secara langsung.

Jason adalah orang pertama yang bisa membuatku merasa bahagia seperti ini. Sejak kecil, sikapku yang tertutup dan pemalu membuat orang-orang berpikir bahwa aku ini sombong. Bahkan sebelum mengenalku pun, mereka sudah memasang tatapan tidak suka ketika melihatku. Penampilanku juga
sebenarnya biasa saja tapi selalu ada yang dikritik oleh mereka. Sok pamer lah, sok cakep lah, atau sok sopan. Seraya bertambah dewasa, orang-orang mulai selalu menguhubungkanku dengan orang tuaku yang terkenal. Nilai-nilaiku yang bagus karena hasil kepintaranku sendiri juga selalu diragukan. Sikap dosen yang menghormatiku dikatakan semata-mata hanya karena ingin menjilat.
Aku tidak pernah benar-benar punya teman. Yang selalu menemaiku hanyalah gunjingan dari mereka yang tidak menyukaiku. Aku tidak pernah mengerti alasannya..

Sore itu Jason mengajakku ke mall. Ia memintaku menemaninya berbelanja.
"Ca, sini sebentar," Jason masuk ke salah satu butik pakaian perempuan.
"Ngapain, sih? Kamu mau beli baju buat mama kamu juga?" aku hanya mengikutinya dari
belakang.
Ia lalu mengambil sebuah gaun malam, menyodorkannya kepadaku. "Cobain yang ini."Aku menatapnya heran. "Udahh.. ayo cepetan.." ia mendorongku ke kamar ganti.
"Jason, ini nggak cocok buat aku.."aku mengamati gaun biru muda dengan sulaman bunga bertebaran di bagian bawahnya. Memang manis sekali. Jason hanya memberiku isyarat untuk diam dan segera mencoba gaun itu. Setengah hati, aku menurutinya.
"Pas sekali.." ia berdecak kagum ketika melihatku mengenakan gaun itu. "Saya ambil yang itu ya," ia lalu berkata kepada pramuniaga yang berdiri di sampingnya. Jason memaksa membelikanku gaun itu.
Sebagai tanda terima kasihnya karena aku telah menemainya berbelanja sore itu. Alasan yang aneh
menurutku.

Kami lalu makan malam di salah satu restoran dan berbincang-bincang sambil menunggu pesanan kami
datang. Percapakan yang tidak pernah aku lupakan.
"Kapan kamu balik ke Sydney?" tanyaku membuka percakapan kami.
"Kenapa? Udah bosen nemenin aku, ya?"
"Eh.. bukan begitu lah.. Cuma mau tau aja.."
Jason menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menghela napasnya.
"Sekitar satu atau dua minggu lagi."
"Oh.." hanya itu yang keluar dari mulutku.
Ia lalu memajukan tubuhnya, mendekatkan dirinya. "Kalau aku pergi, kamu kesepian?" ia tersenyum nakal.
Aku sungguh tidak bisa menjawab apa-apa. Bibirku seperti terkunci dan aku hanya bisa menunduk. Aku juga tidak mengerti mengapa aku jadi seperti itu. Sungguh memalukan.
"Ca, kamu suka cowok kayak apa, sih?" tanyanya mengalihkan topik, namun pertanyaannya masih membuat jantungku berdetak kencang.
"Aku? Uhmm.. Aku suka.." aku berpikir sebentar. "Aku suka cowok yang mau menantiku selama seribu tahun lamanya," jawabku akhirnya dengan mantap.
Ia menatapku heran. "Aku tidak pernah dengar jawaban seperti itu sebelumnya."
"Memangnya sudah berapa orang yang kamu tanya seperti itu?" tanyaku memberanikan diri. Ia tertawa ringan. Ia tidak menjawab apa-apa.
"Kalau kamu? Kamu suka yang seperti apa?" tanyaku balik.
"Aku?" ia diam sebentar. "Aku suka cewek yang bisa membuatku jatuh cinta padanya," sambungnya.
"Jawabanmu lebih aneh lagi," aku tertawa kecil, merasa agak sedikit lepas dari kegugupanku.
Jason mengangkat bahunya cuek. "Ca, kamu lebih cantik kalau kamu panjangin rambutmu," ucapnya tiba-tiba.
Kini aku yang terdiam.
"Kenapa kamu belum punya pacar?" tanyanya kemudian. "Aku yakin banyak cowok ngantri untuk jadi pacarmu."
"Aku belum menemukan yang pas," jawabku diplomatis.
"Pernah jatuh cinta?" tanyanya lagi, menyudutkanku.
"Rahasia.." jawabku malu-malu, mengaduk-aduk minuman yang baru diantar. Walaupun kepalaku tertunduk, aku tahu ia sedang menatapku. Sejujurnya, saat itu aku sadar bahwa aku sudah mulai jatuh cinta kepadanya. Jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Sesampainya di depan rumahku, aku sudah hendak membuka pintu mobil sewaktu ia menarik tanganku, mencegahku untuk keluar.
"Ada apa?" tanyaku antara bingung dan juga malu karena aku juga menikmati sentuhan tangannya.
Ia menatapku sesaat, beberapa detik yang terasa begitu lama untukku.
"Nggak pa-pa. Maaf," ia melepaskan tanganku pelan. "Good night, sweet dream," senyumnya.

Aneh, aku agak sedikit kecewa saat itu. Aku hanya bisa membalas senyumannya dan beranjak keluar. Lalu aku melihat mobil ayah Jason diparkir di dalam garasi rumahku.
"Jas, itu bukannya mobil papamu?" tanyaku agak sedikit terkejut. Jason menatap ke arah yang kutunjuk dan ternyata ia juga sama herannya dengan aku.
"Kamu turun aja dulu,"akhirnya kuberanikan diriku.
Jason hanya mengangguk-angguk dan mematikan mesin mobilnya.

Waktu kami masuk, ternyata orang tua Jason memang sedang bertamu ke rumahku. Aku langsung duduk di sebelah papa sementara Jason duduk sendiri terpisah.
"Abis ke mana aja kalian?" tanya mama lembut.
"Tadi Bianca nemenin Jason belanja doank kok ma," jawabku sambil mencuri pandang
ke arah Jason. Ternyata ia sedang menatapku juga. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.

"Papa mama kok bisa kebetulan di sini juga?" kudengar Jason angkat bicara.

"Kami memang mau ngomong sama kalian berdua.." jawab ayahnya dengan suara agak berat. Jarang sekali aku mendengarnya berbicara. Kulihat ia melirik ke arah istrinya, seolah meminta istri melanjutkan kata-katanya.
"Begini Jason.. kami lihat kalian berdua sangat cocok sekali." Jantungku berdegup menunggu kata-katanya selanjutnya. Lagi-lagi aku tundukkan wajahku.
"Jadi kami berpikir mungkin akan sangat baik kalau kalian dijodohkan. Setidaknya bertunangan dulu sebelum kamu kembali ke Sydney. Mama dan papa sudah kenal dekat dengan orang tua Bianca. Kamu juga sudah cukup umur untuk memulai hubungan yang serius."

Aku merasa ini seperti mimpi, atau seperti kisah dalam novel. Aku baru saja jatuh cinta, untuk yang pertama kalinya dan langsung dijodohkan dengannya Segalanya yang kudengar seperti tidak nyata. Sekuat tenaga kutahan diriku untuk tidak bersorak kegirangan. Lalu aku memberanikan diri menatap ke arah Jason.

Tidak seperti yang kuduga, kulihat raut wajahnya berubah. Tidak ada tanda-tanda kebahagiaan di sana. Wajah itu menjadi keras dan angkuh, tepat seperti waktu aku pertama kali melihatnya. Hatiku seperti ditusuk melihat reaksinya.

Jason lalu berdiri dari duduknya. "Aku minta waktu untuk berpikir." Ia pun beranjak pergi begitu saja. Menoleh ke arahku pun tidak. Duniaku serasa gelap saat itu. Aku tidak mau tahu apa yang terjadi. Yang kuingat, aku berlari ke kemarku dan mengunci diriku di sana. Semalaman itu aku menangis sendiri. Ternyata Jason sama dengan yang lainnya.