Untukmu yang menyebutku kekasih atau bisa jadi YAD (Yang Akan Datang di pelukan)

Hai, apa kabar? Tentu saat ini kau baik-baik saja dan bahagia. Aku percaya Tuhan menjagamu. Hidup dengan damai dan dengan memiliki pengetahuan paling tidak ada dua orang yang sangat mencintaimu. Seseorang yang hidup bersamamu saat ini dan aku. Oh ya aku percaya diri dalam hal itu.

Kekasih, seperti kata-katamu yang selalu kuingat, Cinta adalah keberanian. Maka seperti syahadat yang aku lakukan untuk Tuhanku, dulu aku mengatakan dengan jelas aku mencintaimu dan ingin berkomitmen denganmu. Itu syahadatku untukmu. Itu keberanian pertamaku. Dan aku memilih carpe diem. Merebutmu dari yang bersamamu saat itu. Itu keberanianku kedua karena bagiku kalau tidak sekarang mendapatkanmu kapan lagi, kalau bukan aku siapa lagi, ehhhh. Ah kekasih, kita begitu muda saat itu, aku yang penuh perjuangan dan telingamu yang mungkin butuh rayuan.

Kekasih bersamamu adalah pembelajaran bagiku. Bagaimana aku menerima diriku sendiri, bagaimana aku menerima dirimu dan begitu sebaliknya. Lalu kita belajar bagaimana menjadi lebih baik dari hari ke hari. Utopis ya kelihatannya? Padahal hari-hari itu juga lumayan berat dilalui. Bagiku, hari-hari bersamamu adalah kembali lagi belajar mengenal Tuhan, belajar lebih menerima tentang orangtuaku, belajar mata kuliah apa pun dengan keras biar tidak dianggap lalai sebagai mahasiswa. Dan kamu mungkin di mataku mulai belajar tersenyum lebih banyak, mulai belajar berinteraksi dengan orang-orang yang “dunia”nya berbeda sekali denganmu, mulai mencintai hal-hal kecil untuk dirimu sendiri, kamu menulis lagi, berpuisi lagi dan sebagainya. Bersamamu dulu menjadikan aku lebih baik, bahkan kini hanya dengan mengingatmu aku menginginkan yang lebih baik lagi untuk diriku sendiri. Aku yakin kau juga lebih baik.

Aku masih ingat kamu begitu jutek tidak mau menerima bantuan orang lain, pemilih sekali soal makanan, sangat keras kepala saat beradu pendapat, terkadang juga membuatku kesal. Moody. Aku ingat dua tahun pertama kebersamaan kita, ketika kamu marah karena makanan yang kubeli tidak sesuai dengan permintaanmu, aku lebih marah karena bagiku kamu tidak melihat perjuanganku. Padahal kalau saat itu aku sedikit lebih dewasa aku harusnya tahu alasanmu seperti itu, tapi aku hanya melihat diriku, kesusahanku.

Atau aku lebih marah saat kamu membisu, cemburu. Dan aku bertingkah gila saat cemburu.. Ketika itu mungkin aku atau kau menikmati kehadiran orang lain, entahlah, atau mungkin kita sedang jenuh, atau kita sedang putus asa dengan masa depan hubungan kita. Berhari-hari kita seperti orang asing, berhari-hari aku dan kamu menjadi orang yang aneh.  Kita selalu meneriakkan putus saat seperti itu lalu kita memutuskan berdiam diri.

Tapi cinta selalu menemukan jalannya bukan? Aku kembali padamu dan lagi-lagi jatuh cinta padamu lebih dari kemarin. Kau juga seperti itu. Saat-saat penuh amarah itu selalu kuhabiskan dengan tidur di luar, menghindari dirimu. Namun di saat sendiri itu aku selalu berhasil mengingatkan diriku sendiri bagaimana syahadatku padamu, kamu yang rela bersamaku meski dunia menolaknya, kamu yang rela ditinggalkan teman-teman kita, bahkan tidak peduli dengan asumsi orang-orang.  Sehebat apapun orang lain itu, aku ternyata hanya merasa utuh dan sempurna saat bersamamu. Maka setelah itu aku pulang, memelukmu lama dan meminta maaf. Sejak saat itu setiap pagi aku katakan Thank You for Loving Me. Dan kau selalu menyentuh wajahku saat aku tidur, ya kan? Aku mengingatnya kekasih. Itu tahun ketiga kebersamaan kita. 

Barangkali kita akan tersenyum mengingat hari-hari lalu itu.

Keberanianku yang ketiga adalah berani meninggalkanmu, bukan karena aku tidak mencintaimu. Karena saat itu kita sama-sama bersepakat membangun kehidupan bersama ternyata cinta dan financial saja tidak cukup bukan ? Kita punya logika yang indah untuk berpisah. padahal di saat itu kita merasa menjadi pasangan yang sempurna karena mencinta satu sama lain dengan hebat. Tentu itu juga keberanianmu juga kekasih. Aku yakin mencintaimu tak pernah sia-sia, meski kita tak pernah lagi menandai kebersamaan kita di tahun kelima dan tahun-tahun berikutnya hingga 12 tahun ini dan mungkin hingga tahun-tahun berikutnya.

Jangan khawatir aku bahagia tanpamu meski mungkin lebih bahagia denganmu. Thank You for Loving Me.


Kalau cinta nikahilah, atau kalau cinta lepaskanlah. Quotes yang belum lama saya dengar dari kata-kata bully-nya Debby Niken ini sering kali berulang di kepala saya. Bukan apa atau kenapa, tapi lebih adalah karena bagaimana ini bisa menjadi ikon yang maha dasyat dalam kontemplasi saya menemukan muara cinta kejombloan saya.

parikesit n1nna pernah dengan galaknya bilang: “Aku pernah cium kamu nggak Na?”
Saya yang sedang entah mengembara tiba-tiba langsung terbangun karena kaget, “Enggaklah.”
“Owh, syukurlah. Seingatku hitungannya kurang dari satu tangan sih, orang yang pernah aku cium. Kalau kamu berapa banyak?”
Melek langsung mata yang semula masih sayup, “Ha? Mana aku ingat, malas banget ingat satu-satu.”
“Iya kamu itu mudah sekali menambatkan dan mempercayakan hatimu pada satu orang baru yang sedang dalam masalah, sekarang coba hitung berapa banyak orng yang kamu ajak pedekate?”
“Emm, hmmm, ” loading nggak berhenti-berhenti.
“Banyak kaaan?!” dan ditonyorlah kepala saya sama n1nna.

Ah, jangan mengira jumlah orang yang pedekate dengan saya banyak. Bukan. Sedikit kok. Yang merasa silahkan like, nanti pasti tidak lebih dari dua dozen (eh?). Ya itu kan perkiraan kasar, siapa tahu bisa lebih karena banyak yang merasa, kalau saya tidak mengakui bisa digeruduk lagi saya sama gerombolan kurawa. Dari pada cari perkara, kadang bermain aman lebih baik. Haha...

Jadi dari sekian banyak yang pernah singgah di hidup saya meskipun hampir semuanya hanya berstatus gebetan atau bribik-an itu bagaimana hati saya yang bisa mencintai dengan kaffah (tidak mau kalah dengan keinginan calon rektor UNAIR yang ingin menjadikan kampusnya bermotto kaffah, hati sayapun selalu kaffah dalam mencintai. Mau bukti? Coba saja) bisa cepat move on? Kuncinya ada pada quotes yang awalnya bermaksud untuk membuat saya gentar dari Debby Niken. Beginilah, harusnya bully itu bisa dijadikan motivasi baru untuk bergerak dan melawan kelemahan, biar tidak semakin kalah dengan bully-an orang yang sebenarnya sudah kalah karena hanya mampu mencerca, begitu kan Debby Niken?

Pertama kali kecewa, saya bisa menangis dan berniat menjeburkan diri di kali Jagir berbulan-bulan. Kedua kalinya, saya mulai belajar menjadi pemain, dipermainkan saja bagaimana bisa adil? Dan di situlah dosa yang kemudian berbuah karma saya bermula. 

Menambatkan hati pada adik-adik dampingan yang lemah kemudian sedikit speak-speak, jatuhlah satu persatu dalam rengkuhan saya. Bukan buat main-main ya, saya hanya ingin melindungi mereka dari durjana-durjana di luar sana yang hanya ingin bermain dakon dalam gelap kamar berdua tanpa ada kejelasan masa depan. Hati saya yang sebenarnya belum menerima kesakitan dari putusnya saya dengan pasangan yang kedua, membuat saya menjadi beringas sok menjadi pahlawan pelindung para gegana. Empati yang menjadi simpati, dengan rasa sayang berlimpah yang bukan cinta (ampuni saya para gebetan).
Bukannya saya mau mendiskreditkan Debby Niken yang menjadi jomblo abadi tanpa berhasil memeluk siapapun dalam sekian puluh tahun kejombloannya, tapi menjadi pelindung itu harus totalitas, semua harus dilakukan dengan sepenuh hati. Dan selama jomblo, tidak ada yang salah untuk menyinggahkan hari di mana saja selama memungkinkan dan tidak menyakiti siapapun.

Tapi sekali lagi apa yang tidak sepenuhnya, akan mendapat karma juga dengan ketidakpenuhan buah yang baik. Matang karbitan sebagus apapun kulitnya, rasa daging buahnya akan tetap asam. Begitulah, empat berikutnya pasangan saya (bribik-an tidak dihitung ya, maaf) berakhir dengan kandas yang tidak seharusnya. Meskipun bukan berasal dari saya, kesepenuhan hati itu mungkin membawa dampak yang berbuah ketidakbaikan.
Sadar diri ternyata menjadi titik balik pertama dari landasan utama prinsip move on. Introspeksilah apa sebenarnya kekuranganmu putus dari si mbak berjilbab cantik yang namanya tidak pernah berhenti kau sebut itu Debby Niken. Terimalah bahwa memang kamu mempunyai kekurangan yang membuahkan kesalahan sehingga hubungan kalian harus berakhir.

Dari kesadaran itu, beranjaklah saya dengan mencoba untuk berpikir rasional. Ini bermula dari pasangan ketiga yang waktu memutuskan saya sambil bercucuran air mata bilang, “Aku tidak ingin menyakiti mami papi, Rain, aku mau straight”. Ini jurus paling mematikan dari semua alasan yang harus bisa diterima akal manusia. Mau sampai operasi kelaminpun (ih, nggak bayangin saya punya batangan) belum tentu kita bisa diterima keluarga mereka. Apa mungkin saya bisa menikahi mereka di Indopahit ini? Kalaupun mau saya boyong ke luar negeri untuk menikah dan menetap di sana, apa dia bersedia?

Dari situlah saya mencoba mengerti lagi posisi saya. Tidak ada jodoh yang bertahan selamanya, jodoh sebagai apapun (teman, sahabat, keluarga, pasangan dan musuh sekalipun) memiliki tanggal kadaluwarsa. Karena keberadaan semua di ketidakabadian ini berbatas waktu. Mau dipisahkan oleh putus baik-baik karena tidak lagi saling cocok, atau putus karena salah satu atau dua-duanya selingkuh, atau bahkan yang lebih tragis lagi ditinggal mati, batas waktunya sudah habis.

Ketikapun dipaksakan apa yang akan terjadi? Banyak kan Debby Niken? Mudah bertengkar yang bahkan saling menyakitinya sampai berdarah-darah, rejeki menjadi setidak jelas status dengan gebetan yang hanya singgah untuk melepas rasa sepi. Intinya hanya ketidakbaikan. Lalu kenapa harus dipaksakan? Jika hatimu penuh cinta, harusnya lepaskan dia untuk bisa bahagia dan dapatkan juga kebahagianmu sendiri.

Prinsip move on menjadi sangat mudah setelah sekian banyak kegagalan. Sakitnya hanya akan bertahan sekian bulan, menangisnya akan membuat mata bengkak sampai harus sering dilihat penuh tanda tanya orang-orang di sekitar kita yang peduli atau hanya mencari bahan untuk digunjingkan. Tapi percaya saja, setelah menemukan tambatan baru kita akan mengerti kenapa yang lama memang harus diselesaikan. Begitu bukan Debby Niken?