Sudah menjelang 2014. Seperti kebanyakan warga dunia, kita pun ikut merayakannya. Kalau dulu mungkin heboh untuk melihat momen akhir tahun, mungkin sekarang lebih karena Tahun Baru adalah liburan, ya ayo menikmati liburan. Ada atraksi yang kita tunggu, tapi saya yakin kita lebih menghargai hari-hari itu karena itu adalah liburan. Hehehehehhe

Banyak kata-kata mutiara atau hadits, entahlah saya memang parah kalau mengingat detail, "Celakalah manusia kalau hari ini sama dengan kemarin." Rasanya semakin tua, saya menyadari kalimat itu. Kalau untuk pribadi saya sadar, saya belum beranjak yang terlalu jauh dari kemarin.

Tradisi Stay in the Closet

Ada yang berubah dari tradisi blog dan perubahan di luarnya. Dulu, blog ini adalah tempat “meludah”, meminjam kalimat Arman Dhani, blogger yang saya idolakan. Yang suka menulis, dari menye-menye hingga postmo  ada di sini. Blog ini jadi buku harian bersama. Di sini dulu minim interaksi antar penulis, yang ada adalah show off. Tidak ada editor maupun sensor. Kalau beberapa isinya akhirnya jadi buku itu adalah cita-cita segelintir penulis. Nekat, meski ada perhitungan bisnisnya.

Sekedar tahu sama tahu, senasib, sehati, se-“closet “. Itulah perkawanan kita. Akhirnya ada hang out bersama, arisan antar kita sendiri. Dalam orientasi seksual, kita masih berpegang pula pada stay in the closet, paling hanya 1 orang yang coming out. Lainnya masih lintang pukang menyembunyikan “status pacar asli” di depan orangtua. Meski banyak yang suspect tapi kondisi sudah 86. Kata orang-orang bisnis, hidup sudah berat ngapain ditambah dengan masalah karena mem-blow up “identitas asli”. Saya memang tidak akan bicara sebab dan pembenaran mengenai pilihan orientasi, karena saya menghargai usia kedewasaan teman-teman memilih dan menjalaninya. Seperti ungkapan latin ubi amor, ibi dolor di situ ada cinta, maka di situ pula ada sakit, barangkali kita semua hendak saling menguatkan tentang cinta yang tertukar, eh.   

Orientasi seksual yang sama namun berbeda dengan masyarakat menjadi kita bersempit-sempit di zona nyaman arisan. Arisan ini sudah berapa periode, ya? Kalau tidak salah sudah periode 3. Artinya 3 tahunan usia blog dan orang-orangnya ini berkawan. Dan sudah saya singgung sebelumnya, dari yang bersempit-sempit itu kita mengalami pasang surut perkawanan, ada yang ditinggalkan, ada yang meninggalkan itu adalah pilihan politik.  Dan kita semua belajar mengapa hal itu bisa terjadi, tentu kita berharap tahun-tahun mendatang tidak akan terjadi.

Tradisi dalam zona nyaman itu saya yakin kita semua akan mempertahankannya. Dengan usia yang produktif, kelas menengah, kita akan  menua bersama tetap seperti ini, seperti yang terjadi di blog. Tiga tahun perubahan blog, hanya warna, simbol yang berubah bahkan pernik lucu seperti jam dan koment sudah hilang.
Apakah kita puas?

Berkumpul, berekspresi, “meludah”, narsis, eksis lalu apa? 

Kalau dalam pergaulan bilateral seorang teman menimbulkan kesadaran spiritual saya tergugah dengan kalimat: sudah lesbian, gak sholat, terus mau nyampah di bumi? – hahaha itu jleb sekali ke saya. Maka konteks berikutnya adalah tentang manfaat kita bagi sekitar kita. 

Alhamdulillah teman-teman yang berjiwa sosial tinggi menularkan virus baik. Sikap baik yang tulus, yang bukan lip service meski kita selalu ribet mencari momen. Dari teman-teman terdekat itu saya mempelajari: kita bermanfaat, kita ada. Iyalah, dalam konteks kecil kita rela dimanfaatkan pacar, kalau tidak rela ya buat apa pacaran?

Teman-teman saya dalam komunitas arisan ini memang menjadi warna, ada yang sok lucu, sok judes, sok imut, sok galau, sok papi-papi tapi gak ada yang sok baik. Apa adanya saja, karena kebaikan tidak pernah bisa ditutupi, ia karakter. Menjadi baik dalam parameter apapun saya pikir itu karena untuk dirinya sendiri sebagai modal berkomunikasi dengan manusia lainnya.

Saya yakin kebaikan yang dilakukan bersama-sama dalam kelompok akan lebih kuat daripada yang dilakukan sendiri. Maka dari itu jangan terkejut bila ada pemikiran akan membangun ini itu atas nama bersama. Teman-teman dapat menyanggah, beradu pikiran, mendiamkan dan meninggalkan. Sahabat bukan seseorang selalu membenarkan tetapi orang yang membuat kita lahir dengan perspektif berbeda.

Kebaikan adalah kebaikan, saya yakin kita akan merasa lebih baik saat berbuat baik. Kata Kaisar Titus, diem perdidi (latin lagi) - Saya telah kehilangan satu hari. Kalimat ini diucapkan olehnya kala ia menyadari bahwa satu hari terlewatkan tanpa kesempatan untuk melakukan hal-hal yang baik/berguna. Tuhan yang saya yakini tak pernah mendiskriminasikan umatNya menurut label yang disematkan kepada kita. 

Selamat menjadi lebih baik dan selamat tahun baru 2014. Peluk dan jabat erat.



Aku bukanlah seorang penulis yang baik, baik dalam segi kata–kata maupun tema. Menulis apa yang tiba-tiba ada di kepala ataupun ketika ide itu muncul lewat mimpi lebih mudah buatku daripada harus diminta untuk menulis dengan tema yang disediakan.
Kemarin, n1nna BBM aku untuk ikut menulis di blog dengan tema pahlawan, tema pahlawan belum ditutup, kan? :p. Ini yang sangat sulit buatku. Aku tidak tahu memulai dari mana atau bagaimana menulisnya. Kosakataku terbatas dan sangat sederhana tidak ahli dalam mengolah kata-kata dan tidak mempunyai bendahara kata yang banyak dan kompleks (sekali lagi aku bukanlah penulis. Dan aku bukan seorang penulis yang siap dalam berbagai tema yang ditentukan).
Bicara tentang pahlawan, mungkin aku langsung pada pokok permasalahan. Pahlawan nasional, pahlawan perjuangan kemerdekaan, pahlawan bangsa yang ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan. Beliau-beliaulah pahlawan yang sesungguhnya. Aku mengenal para pahlawan ini dari buku-buku PSPB (Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa), ketika aku pertama kali masuk Sekolah Dasar. Dan film–film dokumenter yang diputar setiap bulan november menjelang hari pahlawan.

Ketika guru sejarah memberi kita tugas untuk mencari tahu di sekitar kita pejuang-pejuang yang masih hidup untuk diwawancarai, ini adalah tugas yang sangat menyenangkan waktu itu, kita sangat antusias sekali untuk mendengar cerita dari pejuang–pejuang yang masih hidup dan waktu itu kita belum memahami kepedihan-kepedihan yang terjadi  di dalamnya.
Ketika kata Pahlawan diucapkan, dalam pikiranku adalah beliau-beliau yang berjuang untuk kemerdekaan negara kita. Dari yang dikenal oleh banyak masyarakat ataupun beliau-beliau yang berjuang dan meninggal tanpa tanda jasa.
Membaca dan mendengar tentang perjuangan mereka tidak dapat dibandingkan dengan orang orang yang menduduki tempat di pemerintahan sekarang ini. Bahkan mereka tidaklah dapat disebut sebagai pejuang negara tapi hanyalah orang-orang yang menduduki posisi di pemerintahan untuk keuntungan golongan saja, itu yang aku ketahui secara sederhana.
Dulu, para pejuang berjuang melawan bangsa dan negara-negara lain yang ingin merebut kemerdekaan kita. Sekarang, kita yang tanpa sadar ataupun dengan sadar berjuang melawan orang orang yang bernaung dalam satu negara dan satu bangsa, orang-orang yang kita percaya untuk memegang posisi-posisi penting dalam menjalankan pemerintahan, yang dengan mereka sadari atau tidak (mungkin mereka sadari) telah menggerogoti sendiri tatanan negara kita dengan berkorupsi, melegalkan tindakan asusila dan amoral, menginjak-injak konstitusi negara. Mungkin kata-kataku terlalu memojokkan, tapi sepertinya begitu dalam sudut pandangku. Berita-berita yang mengusung aparat pemerintahan yang berperilaku tidak sepantasnya sebagai aparatur negara sudah biasa kita dengar dan menjadi diskusi umum tiap mingguan, dimasukkan dalam debat di stasiun-stasiun televisi nasional, layaknya pertunjukkan wayang. Menguntungkan juga bagi mereka untuk menaikkan rating. Antara orang-orang yang digunjingkan ini dan stasiun televisi yang menayangkan debat-debat ataupun diskusi mereka seperti masuk dalam kegiatan mutualisme simbiosis.

Dulu, kita masih diajarkan tentang sejarah perjuangan bangsa, tapi sekarang apakah masih masuk dalam kurikulum pendidikan nasional kita, ya? Satu-dua generasi di bawah kita ke depan apa masih bisa memahami arti dari pahlawan itu sendiri, ya? Pahlawan kemerdekaan. Apa yang dikatakan oleh Bapak Proklamator dan Presiden pertama kita Bapak Soekarno waktu itu dalam pidatonya yang terkenal, mungkin bukan ditujukan pada orang-orang pada masa itu, tetapi untuk orang-orang seperti kita di masa sekarang dan beliau-beliau yang sekarang ini menjalankan pemerintahan negara kita, baik dalam struktur administratif ataupun operasional, dalam naungan partai golongan mereka ataupun individu dan yang lebih baik lagi untuk negara kita Indonesia, yang benar-benar bersikap dan bertindak untuk negara dan dari negara ataupun yang mementingkan korupsi dan menggerogoti negara secara terang terangan. JASMERAH!




Tema bulan ini membuat saya tersenyum kecut. Tentang safe sex. Saya yang tidak pernah pacaran belum pernah merasakan seks atau ML/making love (terserah percaya atau tidak, anda kan tahu saya empat tahun jomblo. Halah, curhat). Saya coba merekap memori saya tentang bacaan dan tontonan ke arah seks (maaf dibanding aya atau nada lainnya, koleksi film biru saya tidak sebanyak koleksi mereka) guna mencari ilham  sesuatu untuk menulis tentang safe sex yang saya ulas di bawah ini.

Melihat film-film biru, saya selalu melihat para aktor menggunakan kondom berbagai bentuk dan gaya. Film porno dan prostitusi yang legal di beberapa negara barat memiliki syarat yang cukup ketat yang harus dipenuhi, mulai perijinan, perpajakan dan kesehatan. Bahkan kita lihat bahwa negara-negara barat tak tabu mengajarkan pendidikan seks (safe sex education) kepada anak sekolah. 

Di mulai dari revolusi industri sampai gerakan hippies dan kemudian ledakan teknologi, mata, telinga dan otak kita terbiasa melihat dan mendengar seks itu seperti apa. Meski seks dalam dunia LGBTQ biasanya mendapat porsi yang kecil dari visualisasi dan bacaan yang berkembang selama ini, saya yakin bahwa pengetahuan seks salah satunya didapat dari hal di atas.

Toko-toko sex toys di Indonesia juga belum bisa ditemukan secara mudah, kian menjauhkan kita dari pendidikan seks yang benar. Bicara mengenai seks yang saya bayangkan adalah eksplorasi dan dengan siapa kita melakukannya. 

Eksplorasi, Menemukan Harta Karun

Eksplorasi berarti adanya penerimaan dan pengenalan tubuh. Itu berlaku bagi pasangan anda. Organ reproduksi dan G-spot anda adalah harta karun anda dan partner seks anda, siapa yang tahu kalau tidak kita sendiri? Bagaimana menggunakannya untuk kepentingan seksual adalah hak kita sendiri, tentu apabila dengan partner harus memperhatikan kepuasan dan keamanan partner juga.

Eksplorasi juga adalah mengetahui hal-hal baru. Apa sih yang enggak buat nyenengin partner? Gaya gangnam style, misionaris, gunting, mandi kucing saya pikir itu bukan hal yang ekstrim. Tetapi kalau Erna dalam truth or dare sering menanyakan hal terliar, maka perlakuan/tabiat seks yang nyeleneh dan ekstrim harus diwaspadai. Misal orgy, anal, pengikatan, penggunaan pisau, cambuk, cekikan ala SM/sadomasokis adalah seks yang beresiko  tinggi. Persiapan dan keamanan tidak menjamin anda puas, mati lemas mungkin iya. Sudah banyak berita perempuan-perempuan yang mati karena SM atau laki-laki yang tewas karena serangan jantung saat melakukan seks, atau setelah menenggak obat kuat yang tak jelas dari bahan apa. Kalau anda suka mencupang/dicupang, menggigit/digigit, mencakar/dicakar, menjambak/dijambak sekedarnya atau reaksi spontan saat coitus, itu sih masih biasa saja hahahhaa. 

Sering kita baca di artikel kesehatan, mulai dari ciuman yang bisa menularkan beberapa bakteri, penyakit menular seksual, hepatitis dan sebagainya seharusnya menyadarkan kita bahwa seks aman itu sangat diperlukan. Kebersihan dan vitalitas hanya didapat dari kebiasaan kita sendiri, seperti mandi, kebiasan makan, kebiasaan olahraga yang teratur tentu lebih baik daripada menggunakan obat kuat tanpa resep dokter. Apa lesbian harus menggunakan kondom? Saya pikir iya, untuk keamanan dan untuk eksplorasi tentunya.

Sex toys menurut saya juga termasuk eksplorasi, namun terus terang saya tidak mampu menjelaskan karena saya tidak bisa browsing, karena rikuh saat penulisan artikel ini di kantor ada banyak kepala di samping saya. Dildo, vibrator atau apapun saya membayangkan bahwa bahan, cara pakai dan cara membersihkan pasti aman dan ada buku petunjuknya hehhehehheeh.

Pasangan, Menentukan Sensasi Prestasi

Melakukan seks, ML acapkali dilakukan berdasarkan dari alasan anda sendiri apakah itu pengungkapan cinta, atau konsekuensi logis bahwa dalam suatu hubungan cinta harus ada seksnya. Lalu perilaku dominasi, yang saya pikir merupakan awal dari sexual harassment (pelecehan seksual), mungkin ada rekan yang mau menjelaskan lebih lanjut.
Dari alasan di atas tentu sesuatu akan anda peroleh, kepuasan seksual/orgasme, olahraga atau kepuasan lainnya yang berarti bukan milik anda sendiri karena sini ada orang lain. Apakah pasangan anda juga merasakan hal yang sama saya pikir itu juga hal penting yang harus dipikirkan. Apakah dia dapat orgasme, orgasme palsu atau tidak puas adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Maka dari itu proses eksplorasi senantiasa dibutuhkan, bukan proses seleksi pasangan lagi. Tetapi itu semuanya tergantung anda :D
Pasangan bukan saja menerima anda apa adanya tapi saya yakin pasangan akan membuat anda lebih hebat.
One night stand? Saya juga belum bisa memberikan ulasan ini, karena belum berpengalaman dan saya tidak tertarik membahasnya. 

Bercintalah sehebatnya dan be safe, selamat malam minggu.


Saya selalu menjadi bagian cerita yang tercambuki  oleh tulisan orang lain, baru kemudian menulis. Haha. Melihat blog yang sudah dipenuhi tulisan Niken memaksa saya bangun dari bersantai di sofa. Baiklah, kali ini tentang Pahlawan.


Kalau ditanya siapa pahlawan menurut saya? Tunggu dulu, biar saya berpijak dari faktual normalitasMenurut UU. No. 20 Tahun 2009, tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 25 dan Pasal 26 Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan Negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.


Kalau ditarik dari sisi nasionalisme jelas negara ini punya kriteria siapa yang disebut pahlawan. Orang-orang yang dianggap memilki jasa yang luar biasa sampai negara ini tetap eksis. Topik ini bahkan sedang menjadi pembicaraan panas. Rencana penganugerahan gelar pahlawan untuk salah satu dalang pembunuhan massal di tahun 1965-1967Di tahun itu, sekurang-kurangnya 500.000-2 juta orang yang dianggap komunis dibunuh, dipenjara dan disiksa tanpa pengadilan. Apabila bebas dari penjara pun, para tahanan politik dan keluarganya masih harus menghadapi berbagai stigma pada pemerintahan Soeharto. Sekarang pun, mereka masih mengalami stigma, hidup dalam ketakutan, dan arisan mereka pada 27/10/2013 di Yogya diserang oleh FAKI (Forum Anti-Komunis Indonesia). Komnas HAM telah menuntut Presiden untuk meminta maaf, disusul dengan rehabilitasi dan perbaikan nasib para korban 1965. Tapi, inikah jawaban Presiden: usulan pengangkatan salah satu orang yang dianggap sebagai otak peristiwa ‘65 yang sekaligus mertuanya sebagai pahlawan nasional?


Beberapa laporan telah menjabarkan bahwa Komandan RPKAD itu telah mendalangi pembunuhan ratusan ribu pendukung Soekarno, yang dianggap sebagai simpatisan komunis. Seperti yang dinyatakan oleh Joshua Oppenheimer dalam press releasenya: "Dia adalah salah satu arsitek kejahatan ini. Menetapkannya sebagai pahlawan nasional adalah sebuah pernyataan kepada dunia bahwa Indonesia akan terus menjadi negeri tempat bercokolnya ketakutan, korupsi dan kekerasan." Menobatkan dia sebagai pahlawan nasional akan menambah tumpukan ketidakadilan terhadap korban ’65 dan keluarga mereka.


Menarik sekali kan bagaimana politik dan kekuasaan mengantarkan orang yang bagi sebagian orang lain dianggap sebagai penjahat menjadi (meskipun masih wacana) calon pahlawan nasional? Sejarah negara dan bahkan dunia kita tentang definisi pahlawan dan penjahat sangat subjektif, tergantung siapa yang berkuasa menuliskan sejarah.


Jadi, ijinkan saya keluar dari tempurung normalitas formal untuk definisi pahlawan. Seperti pula interpretasi kata, biar saya juga mempunyai definisi saya sendiri tentang pahlawan. Untuk saya, pahlawan adalah setiap diri yang tidak berhenti hidup atau bahkan memilih mati (pasti saya akan dicecar habis sama Niken dan n1nna tentang ini. Hahaha). Setiap diri mempunyai pandangan yang subjektif meskipun kita tidak henti dijejali pemahaman normatif atau entah dari buku dan pandangan orang lain yang memiliki latar belakang serupa (sejarah, buku yang kita semua tahu penerbitannya saja selama kita hidup ini tidak lepas dari unsur kekuasaan).


Memulai kehidupan dengan tanpa membebankan dan bergelantung pada orang lain jelas tidak mudah, apalagi di negara kita yang mulai beranjak sekuler, individualis. Gotong royong, tepo sliro, dan budaya keintiman lingkungan yang harmonis di jaman nenek moyang kita dulu sepertinya justru lebih mengarah pada keingintahuan untuk menghakimi dan menjatuhkan orang lain daripada sebagai bentuk kepedulian. Lihat saja media kita, semua berisi infotainment, atau bahkan media menjadi alat politik. Salah satu media mencecar dan menjatuhkan lawan-lawan politiknya dengan berita-berita yang tidak berimbang, ataupun kalau diimbangi dengan media tandingan dengan berita berbalik. Sejarah kita dibentuk dari siapa yang berkuasa.


Tidak ada pahlawan yang sebenar-benarnya, karena saya sangat ragu dengan semua yang tertulis dalam sejarah kita. Saya tidak mengenal mereka secara personal, meskipun kemudian saya mulai mengambil garis tengah (ben gak gendheng), mau diapain juga, setiap diri mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing (pun orang-orang yang sudah syah dinobatkan sebagai pahlawan nasional atau bahkan pahlawan yang melegenda di dunia), setiap orang mempunyai pandangan masing-masing tentang hidup dan bagaimana menjalani atau bahkan memilih mati.


Kalau boleh mempunyai pandangan yang dianggap cukup dominan, tentu saya akan lebih menghargai orang yang mau bertahan dan tidak berhenti berbuat (entah untuk dirinya sendiri maupun sekitarnya) daripada yang menyerah dan memilih mencari jawaban langsung menemui Yang Maha Kekal. Memilih untuk hidup atau mati saja tidak mudah, apalagi memilih tetap bertahan dengan pemikiran dan bahkan usaha untuk tetap hidup. Jadi inilah pahlawan yang nyata untuk saya saat ini. Orang-orang yang memilih tetap hidup tapi ternyata bisa menyelesaikan perang dalam dirinya, beranjak dari tempurung pemikiran, memilih menghadapi kenyataan, merentas habis setiap hambatan, terus hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi tidak berhenti berbuat bahkan untuk orang lain.


Kebanggaan, rasa haru, dan hormat saya untuk orang-orang yang bisa mengikis ego nya. Menilai dunia ini lebih luas dengan nuraninya. Bagaimana kemudian tidak menghakimi orang lain karena kita semua sadar hidup sudah membuat setiap makhluk di bumi ini berada dalam ketidakadilan hingga setiap diri terjebak dalam konsep hidup yang bahkan tidak pernah benar-benar dimengerti. Orang-orang yang harusnya tidak boleh mengorbankan diri dan mengalami kepahitan hidup atas masalah dan derita orang lain atau bahkan derita dirinya sendiri. Terus hidup atau mati dalam ketidakhormatan? Hanya itu pilihan yang tersedia.


Terpujilah setiap makhluk. Semoga masih tersisa kebahagiaan dari usaha dan keyakinan yang tidak pernah mati meskipun terkadang redup tertutup ujian dari sekedar usaha untuk survive.

 


Judul Buku: Pameran Seni Visual “Novemberan” Art Gallery House of Sampoerna, 4-28 November 2010
Kurator: Agus Koecink
Tahun Terbit: 2010
Tebal: 42 hlm; 18x14 cm


Surabaya: Kota Pahlawan. Kota kita tercinta ini, asal mula deNL. Dengan simbolnya berupa Monumen Tugu Pahlawan yang diresmikan 10 November 1952 oleh Ir. Soekarno, tingginya 40,45 meter, diameter bawah 3,10 meter dan diameter atas 1,30 meter. Bagian bawah monumen ini dihiasi ukiran bergambar trisula, cakra, stamba dan padma sebagai simbol perjuangan. Hal ini makin mengukuhkan pengakuan kepahlawanan kota ini. Disertai sebuah museum bernama Museum 10 November berlantai dua, menjadi lambang dan pusat dokumentasi dari perjuangan-perjuangan arek-arek Suroboyo. Ada sosio drama pidato Bung Tomo serta ruang pemutaran film pertempuran 10 November 1945 (diorama elektronik) dan ruang pamer senjata, serta reproduksi foto-foto dokumenter dan koleksi peninggalan Bung Tomo. Pula ruang diorama statis yang menyajikan delapan peristiwa seputar pertempuran 10 November 1945, lengkap dengan narasinya.

Ini menjadi gelitik bagi kita untuk bertanya: itu saja dari Surabaya yang begitu "pahlawan"?

Jangan terlalu bangga dengan sebutan pahlawan dan cerita kepahlawanan dahsyat tentang kota ini. Beberapa tahun lalu, beredar kumpulan cerita pengakuan dari orang-orang Belanda yang hidup di Surabaya di masa-masa kepahlawanan. Buku itu berasal dari kumpulan surat dan beredar secara internasional. Buku itu merupakan kesaksian bahwa: orang-orang Surabaya di tahun kepahlawanan yang kita bangga-banggakan itu, hanyalah kumpulan masyarakat biadab.

Apanya, sih, dari Surabaya yang begitu "pahlawan"? Apapula dokumentasi pembelaan kita terhadap tudingan dari “kacamata” mereka yang kalah perang di pertempuran tahun '45 (tentang betapa biadabnya masyarakat kota ini)?

Jadi, lewat pameran Seni Visual “Novemberan” Art Gallery House of Sampoerna, 4-28 November 2010, kurator Agus Koecink mengkritisi ke-“pahlawan”-an ini.

Sebagai contoh pada halaman 14, konsep karya “Pahlawan Modern” dari Anvin Kurniawan dari DKV UK Petra 2001 yang lahir di Surabaya, 26 April 1982, yang pernah menjadi finalis Citra Pariwara 2007 – WALHI print ad (crafting category), finalis Pinasthika student ad 2005, 3rd (bronze) Winner Boliho Competition 2005, 3rd(bronze) winner INFUS poster design 2006, 3rd (bronze) winner TVC Olympiad Ad 2005, 1st winner student ad competition 2005, 1st winner Triple Jeans competition 2008 dan sekarang menjabat Head Of Art and Design SAtu Atap (2008-now), mendeskripsikan pahlawan sebagai satu sosok nyata yang memiliki sifat-sifat kerendah-hatian, ketidak-haus-kekuasaan, bijaksana, pemberani, murah senyum, tulus dan gampang berbaur. Sifat-sifat tersebut digambarkan lewat tokoh wayang punakawan sebagai pahlawan modern karena tiap-tiap individu dari kwartet tersebut punya sifat khas sendiri-sendiri, namun keempatnya punya ketulusan yang sama. Semar yang tidak haus akan kekuasaan dan sering diminta petuahnya oleh para penguasa; Gareng yang selalu punya ide cemerlang namun cuma menjadi orang di balik layar; Petruk yang selalu dianggap bodoh tapi murah senyum; Bagong yang sering dihujat para penguasa karena selalu melawan ketidakadilan. Anvin yakin bahwa sosok pahlawan modern seperti inilah yang ditunggu dan dibutuhkan.

Dibidani oleh Art Gallery House of Sampoerna dan Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra, satu-persatu tukang pamer karya mengundang para peminat seni untuk mengenal definisi “pahlawan” menurut penjabaran mereka yang kadang diartikan begitu personal dan kadang terkesan ngawur. Ada yang begitu blak-blakan dan yang lain memaknainya dengan kacamata budaya.

Keragaman makna pahlawan ini mentransformasikan dan memunculkan bentuk ide dan kepahlawan baru masa kini, tak melulu tenggelam pada hingar-bingar masa lalu yang menjadi muasal kota ini berjuluk kota pahlawan. Malahan melestarikan sebutan kota dalam bingkai-bingkai definisi baru dengan menggelitik dan membuat kita serasa tertantang untuk memberi definisi baru kata pahlawan bagi kota pahlawan.

Contoh perpaduan hingar-bingar masa lalu dan kekinian: “Tugu Pahlawanku” karya Asthararianty, S.SN & Ir. Titien Wahono, yang keduanya merupakan dosen DKV UK Petra. Dengan konsep karya 3 dimensi menggambarkan gabungan dari unsur-unsur desain dan prinsip desain: Tugu Pahlawan, suatu monumen masa lalu dan berada di antara bangunan-bangunan (monumen, mall, jembatan) baru. Mereka mempertanyakan, apakah gambaran ini telah sesuai dengan tujuan perjuangan, angan-angan dan imajinasi para pahlawan dahulu? Suatu kebanggaan yang tetap menjaga Monumen Tugu Pahlawan mentereng di antara pembaharuan adalah nilai historis. Sehingga Monumen ini tetap menjadi ciri kota Surabaya sebagai kota pahlawan dan menjadi kenangan yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi dan selalu dikenang oleh generasi penerus.

Lain dengan konsep karya Ivan Adi “Suckerhead”: “Mimpi”. Mulai dari mimpi untuk merdeka, orang banyak bermimpi. Saat ini setelah sekian lama Indonesia merdeka, anak-anak muda utamanya, menjadi banyak kehilangan mimpi bahkan takut untuk bermimpi. Anggapan Ivan, anak-anak muda sekarang bersandar pada hidupnya yang penuh kebohongan.  Ivan mengajak kembali bermimpi dan mewujudkan mimpi meski banyak rintangan. Mimpi adalah proses untuk menjadikan besar. Ivan juga mengingatkan untuk tidak terjebak dalam mimpi.

Pahlawan klasik ala pemerintah kota juga diangkat oleh Maria Nala Damayanti. Staf pengajar DKV UK Petra ini menjadikan pasukan kuning sebagai konsep karyanya: “The Suparman”. Mereka berdedikasi dan berintegritas, itu alasan Maria. Sebab sejak pagi hingga petang mereka berurusan dengan sesuatu yang sangat ingin kita buang jauh dari hidup kita. Hanya saja kita tak pernah ingin mengenal dan sering mengabaikan pahlawan satu ini.

Pahlawan dari segi budaya pun diangkat dalam konsep karya “Stout Lagi Jek!”. Pahlawan adalah ibu-ibu yang sudah sepuh namun setia untuk melestarikan batik dengan canting sebagai senjata.

Paling unik adalah “Kalian Bicara?” oleh Emka Satya Putra. Menghadirkan suatu bentuk megaphone, bagi lelaki kelahiran 1991 ini pahlawan adalah dia yang mampu merubah segalanya hanya dengan SUARAnya. Dan megaphone adalah instrumen yang tugasnya membesarkan SUARA seseorang. Menekankan suara sebagai denotasi dan konotasi.

Ke"pahlawan"-an Surabaya barangkali karena memiliki semua jenis pahlawan yang diinginkan oleh para kreator ini. Di "Tugu Pahlawanku" kita punya Tugu Pahlawan. Di "Mimpi" kita masih punya anak-anak muda yang tak kehilangan dan tak tersesat mimpi. Di "The Suparman" kita memiliki barisan pasukan kuning, di "Kalian Bicara?" kita punya Bung Tomo yang legendaris.

Dan, tentunya, para karya-wan/wati ini menjadi pahlawan masa kini yang tak hanya berkarya dan melakukan pameran. Pun mereka menyatukannya dalam bentuk buku, karya mereka dicatat dan didokumentasikan bersama proses pikir yang mendasari masing-masing fokus. Pendalaman karya dititikkan pada wilayah-wilayah pinggiran yang jarang terjamah untuk didalami. Eksplorasi metafora-metafora visual dari nilai kepahlawanan yang disajikan merangsang untuk dikontemplasikan dan disintesis oleh para peminat.

Meski katalog dari pameran ini tidak bertujuan untuk menjawab tudingan di atas, buku ini memberikan gambaran tentang masyarakat Surabaya masa kini, yang tak terpaku pada masa lalu. Pahlawan-pahlawan bermunculan tak berkisar perang adu otot atau kontak senjata. Pahlawan yang tak menjadi pemenang karena tak ada pihak yang kalah, yang seperti dikonsep karyakan oleh Bing Bedjo Tanudjaja: “Dicari: Pahlawan Keadilan!”.