Judul Buku: Pameran Seni Visual “Novemberan” Art Gallery House of Sampoerna, 4-28 November 2010
Kurator: Agus Koecink
Tahun Terbit: 2010
Tebal: 42 hlm; 18x14 cm


Surabaya: Kota Pahlawan. Kota kita tercinta ini, asal mula deNL. Dengan simbolnya berupa Monumen Tugu Pahlawan yang diresmikan 10 November 1952 oleh Ir. Soekarno, tingginya 40,45 meter, diameter bawah 3,10 meter dan diameter atas 1,30 meter. Bagian bawah monumen ini dihiasi ukiran bergambar trisula, cakra, stamba dan padma sebagai simbol perjuangan. Hal ini makin mengukuhkan pengakuan kepahlawanan kota ini. Disertai sebuah museum bernama Museum 10 November berlantai dua, menjadi lambang dan pusat dokumentasi dari perjuangan-perjuangan arek-arek Suroboyo. Ada sosio drama pidato Bung Tomo serta ruang pemutaran film pertempuran 10 November 1945 (diorama elektronik) dan ruang pamer senjata, serta reproduksi foto-foto dokumenter dan koleksi peninggalan Bung Tomo. Pula ruang diorama statis yang menyajikan delapan peristiwa seputar pertempuran 10 November 1945, lengkap dengan narasinya.

Ini menjadi gelitik bagi kita untuk bertanya: itu saja dari Surabaya yang begitu "pahlawan"?

Jangan terlalu bangga dengan sebutan pahlawan dan cerita kepahlawanan dahsyat tentang kota ini. Beberapa tahun lalu, beredar kumpulan cerita pengakuan dari orang-orang Belanda yang hidup di Surabaya di masa-masa kepahlawanan. Buku itu berasal dari kumpulan surat dan beredar secara internasional. Buku itu merupakan kesaksian bahwa: orang-orang Surabaya di tahun kepahlawanan yang kita bangga-banggakan itu, hanyalah kumpulan masyarakat biadab.

Apanya, sih, dari Surabaya yang begitu "pahlawan"? Apapula dokumentasi pembelaan kita terhadap tudingan dari “kacamata” mereka yang kalah perang di pertempuran tahun '45 (tentang betapa biadabnya masyarakat kota ini)?

Jadi, lewat pameran Seni Visual “Novemberan” Art Gallery House of Sampoerna, 4-28 November 2010, kurator Agus Koecink mengkritisi ke-“pahlawan”-an ini.

Sebagai contoh pada halaman 14, konsep karya “Pahlawan Modern” dari Anvin Kurniawan dari DKV UK Petra 2001 yang lahir di Surabaya, 26 April 1982, yang pernah menjadi finalis Citra Pariwara 2007 – WALHI print ad (crafting category), finalis Pinasthika student ad 2005, 3rd (bronze) Winner Boliho Competition 2005, 3rd(bronze) winner INFUS poster design 2006, 3rd (bronze) winner TVC Olympiad Ad 2005, 1st winner student ad competition 2005, 1st winner Triple Jeans competition 2008 dan sekarang menjabat Head Of Art and Design SAtu Atap (2008-now), mendeskripsikan pahlawan sebagai satu sosok nyata yang memiliki sifat-sifat kerendah-hatian, ketidak-haus-kekuasaan, bijaksana, pemberani, murah senyum, tulus dan gampang berbaur. Sifat-sifat tersebut digambarkan lewat tokoh wayang punakawan sebagai pahlawan modern karena tiap-tiap individu dari kwartet tersebut punya sifat khas sendiri-sendiri, namun keempatnya punya ketulusan yang sama. Semar yang tidak haus akan kekuasaan dan sering diminta petuahnya oleh para penguasa; Gareng yang selalu punya ide cemerlang namun cuma menjadi orang di balik layar; Petruk yang selalu dianggap bodoh tapi murah senyum; Bagong yang sering dihujat para penguasa karena selalu melawan ketidakadilan. Anvin yakin bahwa sosok pahlawan modern seperti inilah yang ditunggu dan dibutuhkan.

Dibidani oleh Art Gallery House of Sampoerna dan Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra, satu-persatu tukang pamer karya mengundang para peminat seni untuk mengenal definisi “pahlawan” menurut penjabaran mereka yang kadang diartikan begitu personal dan kadang terkesan ngawur. Ada yang begitu blak-blakan dan yang lain memaknainya dengan kacamata budaya.

Keragaman makna pahlawan ini mentransformasikan dan memunculkan bentuk ide dan kepahlawan baru masa kini, tak melulu tenggelam pada hingar-bingar masa lalu yang menjadi muasal kota ini berjuluk kota pahlawan. Malahan melestarikan sebutan kota dalam bingkai-bingkai definisi baru dengan menggelitik dan membuat kita serasa tertantang untuk memberi definisi baru kata pahlawan bagi kota pahlawan.

Contoh perpaduan hingar-bingar masa lalu dan kekinian: “Tugu Pahlawanku” karya Asthararianty, S.SN & Ir. Titien Wahono, yang keduanya merupakan dosen DKV UK Petra. Dengan konsep karya 3 dimensi menggambarkan gabungan dari unsur-unsur desain dan prinsip desain: Tugu Pahlawan, suatu monumen masa lalu dan berada di antara bangunan-bangunan (monumen, mall, jembatan) baru. Mereka mempertanyakan, apakah gambaran ini telah sesuai dengan tujuan perjuangan, angan-angan dan imajinasi para pahlawan dahulu? Suatu kebanggaan yang tetap menjaga Monumen Tugu Pahlawan mentereng di antara pembaharuan adalah nilai historis. Sehingga Monumen ini tetap menjadi ciri kota Surabaya sebagai kota pahlawan dan menjadi kenangan yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi dan selalu dikenang oleh generasi penerus.

Lain dengan konsep karya Ivan Adi “Suckerhead”: “Mimpi”. Mulai dari mimpi untuk merdeka, orang banyak bermimpi. Saat ini setelah sekian lama Indonesia merdeka, anak-anak muda utamanya, menjadi banyak kehilangan mimpi bahkan takut untuk bermimpi. Anggapan Ivan, anak-anak muda sekarang bersandar pada hidupnya yang penuh kebohongan.  Ivan mengajak kembali bermimpi dan mewujudkan mimpi meski banyak rintangan. Mimpi adalah proses untuk menjadikan besar. Ivan juga mengingatkan untuk tidak terjebak dalam mimpi.

Pahlawan klasik ala pemerintah kota juga diangkat oleh Maria Nala Damayanti. Staf pengajar DKV UK Petra ini menjadikan pasukan kuning sebagai konsep karyanya: “The Suparman”. Mereka berdedikasi dan berintegritas, itu alasan Maria. Sebab sejak pagi hingga petang mereka berurusan dengan sesuatu yang sangat ingin kita buang jauh dari hidup kita. Hanya saja kita tak pernah ingin mengenal dan sering mengabaikan pahlawan satu ini.

Pahlawan dari segi budaya pun diangkat dalam konsep karya “Stout Lagi Jek!”. Pahlawan adalah ibu-ibu yang sudah sepuh namun setia untuk melestarikan batik dengan canting sebagai senjata.

Paling unik adalah “Kalian Bicara?” oleh Emka Satya Putra. Menghadirkan suatu bentuk megaphone, bagi lelaki kelahiran 1991 ini pahlawan adalah dia yang mampu merubah segalanya hanya dengan SUARAnya. Dan megaphone adalah instrumen yang tugasnya membesarkan SUARA seseorang. Menekankan suara sebagai denotasi dan konotasi.

Ke"pahlawan"-an Surabaya barangkali karena memiliki semua jenis pahlawan yang diinginkan oleh para kreator ini. Di "Tugu Pahlawanku" kita punya Tugu Pahlawan. Di "Mimpi" kita masih punya anak-anak muda yang tak kehilangan dan tak tersesat mimpi. Di "The Suparman" kita memiliki barisan pasukan kuning, di "Kalian Bicara?" kita punya Bung Tomo yang legendaris.

Dan, tentunya, para karya-wan/wati ini menjadi pahlawan masa kini yang tak hanya berkarya dan melakukan pameran. Pun mereka menyatukannya dalam bentuk buku, karya mereka dicatat dan didokumentasikan bersama proses pikir yang mendasari masing-masing fokus. Pendalaman karya dititikkan pada wilayah-wilayah pinggiran yang jarang terjamah untuk didalami. Eksplorasi metafora-metafora visual dari nilai kepahlawanan yang disajikan merangsang untuk dikontemplasikan dan disintesis oleh para peminat.

Meski katalog dari pameran ini tidak bertujuan untuk menjawab tudingan di atas, buku ini memberikan gambaran tentang masyarakat Surabaya masa kini, yang tak terpaku pada masa lalu. Pahlawan-pahlawan bermunculan tak berkisar perang adu otot atau kontak senjata. Pahlawan yang tak menjadi pemenang karena tak ada pihak yang kalah, yang seperti dikonsep karyakan oleh Bing Bedjo Tanudjaja: “Dicari: Pahlawan Keadilan!”.



Sahabat sehati, telah hampir 4 tahun kita dalam persaudaraan (cieee) meski tanpa memakai upacara mengangkat saudara seperti dunia Kangow atau preman (seperti minum arak campur darah), kita menjadi saudara saat ini.


Ada yang hilang, menghilang atau dihilangkan, karena begitulah bahwa dunia yang ramai juga akan menyangkut banyak privasi dan konsekuensi. Maka bagi yang bertahan, saya berharap akan semakin matang, juga memiliki mimpi pada blog ini. Saya yakin bahwa blog ini akan semakin bermanfaat dan menjadi peluang usaha yang membuat kita akan semakin keren dan membuat saudara-saudara yang jomblo akan semakin terhormat dan tampak menggairahkan mempesona (hahahhaha ngelantur).

Untuk parikesit n1nna yang lagi ada di bumi dan semakin asyik, luangkan waktu untuk menghidupkan blog ini. Dengan kekuatan bulan dan bayang-bayang AKB48, tulisan dan pemikiran yang postmo akan selalu dicari oleh fans gelap editor maksud saya. Semangat.

Untuk Hening Swara, meski berlagak sibuk tapi saya yakin dia dapat mencuri mengusahakan bandwith yang besar agar blog ini menjadi  denlworld dot com (Alhamdulillah), juga saya menitip mimpi agar kita dapat membuat radio yang streaming, punya rumah, kolam renang, vila, mobil dan cewek eh uang yang banyak (amin).

Untuk Ragil Susanti, percayalah bahwa tulisanmu yang semakin galau akan lebih bermakna bila dipajang di blog lalu dibaca sejuta kali oleh fansmu. Jadi meski bahasamu agak-agak ke arah dampingan, tetaplah menulis, syukur-syukur kamu bisa mengadakan pelatihan penulisan selain pelatihan dampingi cewek orang selamanya pendampingan dan sebagainya.

Untuk Neni dan penghuni BBm grup iwak p*y*k ayo tetap nulis. Mimpi itu dituliskan, nanti kalo kita berdoa dan yakin kita bisa meraihnya, pasti kita bisa menjalani mumpung smart masih promo kita masih bertemu di kota ini.




Tanggal 10 November 2013, Surabaya secara simbolis menutup lokalisasi Dolly, red district terbesar di Asia Tenggara. Sedangkan mbak-mbak yang “jualan” disebut wanita pekerja seks (WPS) direncanakan akan kembali kepada masyarakat. WPS dulu disebut PSK (Pekerja Seks Komersial), entahlah dari sudut estimologi mana WPS lebih enak didengar daripada PSK.

Bagi ibu-ibu dari kalangan baik-baik mereka adalah ancaman, baik pemerintah dan aparat mereka kerap disebut pekat (penyakit masyarakat).

Tidak ada undang-undang yang memperjelas dan mengatur tentang prostitusi. Masyarakat kita yang munafik biasanya lebih suka berkoar-koar dan mengobrak-abrik menutup “warung” mereka daripada menikahi mereka atau mencari sebab mengapa mereka menekuni bisnis jual diri.

Pemkot dan pemkab se-Jawa Timur rata-rata menggelontorkan 1-3 juta rupiah, ditambah dari pemprov 3 juta rupiah, jadi total 4-6 juta rupiah diterima tiap WPS untuk modal kembali ke masyarakat. Tentu dana itu dari APBD. Pemkot Surabaya saja menerima anggaran 10 milyar untuk menutup lokalisasi Dolly.



Dengan dana 4-6 juta rupiah ini mereka diharapkan kembali ke kampung halaman masing-masing dan membuka usaha yang sah dan halal. Padahal saat mereka masih kinyis-kinyis uang 4-6 juta itu biasa mereka dapatkan dalam satu bulan. Kini uang sejumlah itu akan menjadi pemutus rantai bisnis esek-esek. Mampukah?

Para WPS menjadi kambing hitam segala tuduhan untuk salah satu penyebab dekadensi moral. Mungkin juga tak sedikit dari mereka adalah pahlawan, pejuang keluarga, karena mereka adalah orang yang juga berjuang membiayai kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya. Mereka yang terjun bebas baik sengaja atau terpaksa menekuni bisnis ini tidak bisa disalahkan 100%. Mereka ada karena ada yang butuh. Penulis pernah menjumpai seorang WPS, yang dengan entengnya mengungkapkan suaminya mengijinkan ia menjalani profesi itu asal tidak menggunakan rumah sebagai tempat transaksi!

Secara ekonomi tak mungkin ada penjualan dan persediaan apabila tak ada permintaan. Bahkan ini akan seperti pertanyaan dulu mana ayam atau telur. Seperti juga lagu Titik Puspa dengan retoris yang bertanya, dosakah dia dan sucikah mereka yang datang?

Tak perlu kita jawab pertanyaan ini. Bisnis jual diri sejak dari dulu hingga sekarang bukan bisnis antar dua orang, tapi melibatkan banyak orang dan uang yang tidak sedikit. Tidak cukup pemerintah hanya menyasar mbak-mbak yang "jualan". Kegiatan mereka yang sekarang terselubung mungkin malah menambah daya tarik para calon pembeli atau membuat mereka pergi ke Thailand atau negara lain yang lebih bebas menawarkan "jualan" mbak-mbak ini baik yang betulan maupun yang kw1. Kali ini HIV/AIDS tak dapat dituduhkan atau dideteksi dari lokalisasi saja, ia menjadi hantu yang jadi kenyataan, ada di mana-mana.

Masih berminat cari mbak-mbak?