Tanggal 10 November 2013, Surabaya secara simbolis menutup lokalisasi Dolly, red district terbesar di Asia Tenggara. Sedangkan mbak-mbak yang “jualan” disebut wanita pekerja seks (WPS) direncanakan akan kembali kepada masyarakat. WPS dulu disebut PSK (Pekerja Seks Komersial), entahlah dari sudut estimologi mana WPS lebih enak didengar daripada PSK.

Bagi ibu-ibu dari kalangan baik-baik mereka adalah ancaman, baik pemerintah dan aparat mereka kerap disebut pekat (penyakit masyarakat).

Tidak ada undang-undang yang memperjelas dan mengatur tentang prostitusi. Masyarakat kita yang munafik biasanya lebih suka berkoar-koar dan mengobrak-abrik menutup “warung” mereka daripada menikahi mereka atau mencari sebab mengapa mereka menekuni bisnis jual diri.

Pemkot dan pemkab se-Jawa Timur rata-rata menggelontorkan 1-3 juta rupiah, ditambah dari pemprov 3 juta rupiah, jadi total 4-6 juta rupiah diterima tiap WPS untuk modal kembali ke masyarakat. Tentu dana itu dari APBD. Pemkot Surabaya saja menerima anggaran 10 milyar untuk menutup lokalisasi Dolly.



Dengan dana 4-6 juta rupiah ini mereka diharapkan kembali ke kampung halaman masing-masing dan membuka usaha yang sah dan halal. Padahal saat mereka masih kinyis-kinyis uang 4-6 juta itu biasa mereka dapatkan dalam satu bulan. Kini uang sejumlah itu akan menjadi pemutus rantai bisnis esek-esek. Mampukah?

Para WPS menjadi kambing hitam segala tuduhan untuk salah satu penyebab dekadensi moral. Mungkin juga tak sedikit dari mereka adalah pahlawan, pejuang keluarga, karena mereka adalah orang yang juga berjuang membiayai kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya. Mereka yang terjun bebas baik sengaja atau terpaksa menekuni bisnis ini tidak bisa disalahkan 100%. Mereka ada karena ada yang butuh. Penulis pernah menjumpai seorang WPS, yang dengan entengnya mengungkapkan suaminya mengijinkan ia menjalani profesi itu asal tidak menggunakan rumah sebagai tempat transaksi!

Secara ekonomi tak mungkin ada penjualan dan persediaan apabila tak ada permintaan. Bahkan ini akan seperti pertanyaan dulu mana ayam atau telur. Seperti juga lagu Titik Puspa dengan retoris yang bertanya, dosakah dia dan sucikah mereka yang datang?

Tak perlu kita jawab pertanyaan ini. Bisnis jual diri sejak dari dulu hingga sekarang bukan bisnis antar dua orang, tapi melibatkan banyak orang dan uang yang tidak sedikit. Tidak cukup pemerintah hanya menyasar mbak-mbak yang "jualan". Kegiatan mereka yang sekarang terselubung mungkin malah menambah daya tarik para calon pembeli atau membuat mereka pergi ke Thailand atau negara lain yang lebih bebas menawarkan "jualan" mbak-mbak ini baik yang betulan maupun yang kw1. Kali ini HIV/AIDS tak dapat dituduhkan atau dideteksi dari lokalisasi saja, ia menjadi hantu yang jadi kenyataan, ada di mana-mana.

Masih berminat cari mbak-mbak?



0 comments to "From Hero to Zero"

Posting Komentar

just say what you wanna say