Meet Tone, then Jazz. Or Jazz meets Tone.


Baru-baru ini aku kerajingan buku-buku karya Julie Anne Peters. Ceritanya sederhana, sekolah menengah banget, tapi Peters berhasil mengangkat cerita tentang anak-anak usia sekolah menengah tersebut dengan berbagai konflik yang dihadapi usia berapapun.

Hal yang paling saya sukai dari karya Peters yaitu, protagonis (emangnya ada yang antagonis?) mengalami naik-turun emosi akan stressor yang mereka hadapi dengan kemampuan penyesuaian diri yang realistis, sehingga mengena dan memberikan energi positif bagi pembacanya. Sewaktu membaca buku-buku milik Peters aku memang dalam penyesuaian diri setelah kehilangan satu orang penting dalam hidupku, dan aku tidak menyesal membeli buku-buku Peters.

Define Normal bercerita tentang Tone, gadis yang punya nilai A dan Jazz, yang punya nilai A dan kemampuan piano kelas jenius dan punya "penampakan" tidak normal. Normal dalam definisi kebanyakan orang. Mereka bertemu untuk kelas konseling, Tone membantu Jazz (atau malah sebaliknya?). Awal hubungan pertemanan mereka tidaklah indah. Tapi sejalan dengan waktu, perlahan-lahan tirai terbuka dan mereka menyelami satu sama lain. Termasuk tentang mimpi mereka.

Don't judge the book by its cover adalah ungkapan paling tepat untuk tema cerita dalam buku ini. Define Normal sangat mengasyikkan untuk dibaca dan tergolong buku ringan. Aku tak sabar membaca buku-buku Peters yang lainnya.


 

Berbicara tentang mimpi, saya jadi teringat saat-saat saya masih kecil. Sewaktu saya masih di bawah 10 tahun, saya sangat dekat dengan Bapak. Kebersamaan terindah menurut saya tidak pernah lagi saya dapatkan setelah saya kelas 4 SD sampai saat ini. Kami sering bersama, dalam buaian pelukannya, saya sering mendengarnya bercerita tentang Kancil atau cerita-cerita lainnya. Di sela bercerita itu, kemudian dia akan bertanya, “Nek wes gede sok pengen dadi opo?”.  Jawaban lugu saya waktu itu seringkali berubah, “Pengen dadi dokter”, “Pengen dadi guru koyok bapak”, dan terakhir kali kedekatanku dengannya, jawaban tersering adalah, “Pengen dadi insinyur koyok Paklek Mul”.

Menurut saya Paklik Mul yang adalah adik Ibu saya merupakan orang terkeren di lingkungan saya. Orangnya masih muda, ganteng, banyak dikejar perempuan di kampus maupun di desa saya, organiser hebat di kampung baik untuk kegiatan pemuda maupun orang-orang tua, memegang sabuk putih perkumpulan silat di desa, most popular man lah dia. Jadi dari saya kecil, mimpi saya simple, pengen menjadi orang sehebat Paklik saya. Haha

Jadi begitulah, saya berusaha keras menyukai pelajaran IPA (berat men!!), tapi saat beranjak besar mulai menyukai Biologi. Ngintil Paklik saya ke mana saja dia pergi. Ikut Karang Taruna, mengorganisir membangun jembatan kampung, ikut  (lebih tepatnya melihat) Paklik melatih remaja kampung bela diri.

Tapi setelah saya SMP, saya melihat seseorang yang lebih membuat saya tidak hanya kagum, tapi terpukau (kata lagunya Astrid). Dia seorang perempuan yang mengubah mimpi saya, menginginkan tidak hanya mendapatkan perhatiannya tapi selalu berada di dekatnya (apapun caranya). Saya bahkan sampai ikut semua ekstrakurikuler yang dia ikuti. Mulai dari Seni Tari (jangan salah, saya masih mengingat beberapa gerakan tari sampai saat ini. Hehehe), Karawitan (Menabuh gamelan ternyata menyenangkan juga selama itu bersama dia), Paskibraka (sekecil saya ikut Paskibra, percaya nggak?), OSIS, dan yang teryahud adalah Majelis Taklim.

Ketikapun kami terpisah di SMU berbeda, saya tidak berhenti berusaha. Saya mengikuti semua ekstrakurikuler yang memungkinkan saya bisa bertemu dengannya setiap Minggu. PMR, OSIS, dan Sie Kerohanian Islam. Menjadi akhwat membuat saya bisa bertemu dengannya setiap sore di hari Kamis. Dan kedekatan itu semakin erat ketika dia yang setingkat di atasku diterima di Psikologi UNAIR.  Mimpi saya berubah, saya harus menjadi Psikolog. Tapi meskipun mengikuti bimbingan di Nurul Fikri sebulan lamanya sebelum UMPTN 2001, atas doa Ibu saya yang tidak menginginkan anaknya masuk Psikologi dengan alasan bidang kerjanya tidak mungkin di desa, saya gagal masuk Psikologi. Dan terdamparlah saya di UNESA untuk meneruskan tradisi keluarga yang sebagian besar adalah guru.

Saya yang keras, melawan keinginan keluarga yang tidak kalah keras. Meskipun sudah disiapkan satu posisi dosen, saya memilih berontak. Saya hanya ingin menjadi saya yang bukan boneka siapapun termasuk keluarga. Bersama pasangan saya, kami membangun mimpi baru. Menyatukan perbedaan dalam sebuah ruang kebebasan. Kami mendirikan komunitas, menciptakan lapangan kerja, tapi kandas ketika kebersamaan kami pun selesai.

Ada begitu banyak orang-orang luar biasa di sekitar kita yang tidak memiliki kesempatan berkarya. Semua keterbatasan yang ada membuat mereka mati dan harus mengikuti arus mayoritas. Menjadi budak penguasa (uang dan kekuasaan) dan mematikan mimpi. Bagaimana jadinya kalau kita membuat usaha dengan mengembangkan dan mewadahi kemampuan sekian banyak orang? Ada banyak ibu-ibu rumah tangga yang memiliki kemampuan memasak, menjahit, membuat kerajinan tangan di Kampung Seng (tempat kita dulu melakukan Baksos); teman-teman pelukis, penulis, maupun pemusik yang harus menjadi pekerja pabrik atau perusahaan. Apapun agama mereka, kepercayaan mereka, orientasi seksual mereka, semua keunikan itu kita bumikan dalam sebuah tempat yang bisa mewadahi kebutuhan mereka.

Saya suka nongkrong, suka makanan enak, suka membaca. Bagaimana kalau kemudian saya membuat cafe yang homey dengan deretan buku-buku hasil karya siapa saja penulis yang ingin berkarya, dilengkapi dengan lukisan di dinding, pernak-pernik siapa saja disetiap ruangan,  lagu yang mengalun tanpa perlu label dari artis, tapi orang-orang yang memang ingin mengembangkan diri dalam satu rumah yang siapapun boleh datang dan membeli setiap isi di dalam rumah itu.

Saya ingin memberi kesempatan bagi siapa saja untuk berkembang. Dalam satu ruang, kebebasan.

 



 

Aku merasa tanganku basah. Agak lengket. Dan ketika kulihat, ternyata darah yang membasahinya. Kujatuhkan pisau di tangan kiriku. Suara jatuhnya mengagetkanku. Aku bahkan tidak tahu kalau aku menggenggam pisau itu. Nafasku memburu. Apa yang telah kulakukan?

 

Ada suara rintihan di belakangku. Aku berbalik untuk melihat apa itu. Dan yang kulihat adalah seorang wanita yang memegangi perutnya. Darah mengalir deras dari luka yang menganga lebar. Tapi dia tersenyum. “Ini memang harus dilakukan," katanya.

 

Lalu aku terbangun dengan nafas memburu dan tubuh penuh keringat. Aku menggigil. Bukan karena dingin. Kurasakan bulu romaku menegang. Aku takut. Kurasa ini yang terjadi pada semua orang kalau ia bermimpi membunuh ibunya sendiri.

 

==

 

Pagi itu sungguh tidak nyaman untukku. Mimpi yang kualami semalam terasa begitu nyata. Aku sampai harus memastikan ke kamar ibuku untuk meyakinkan diriku bahwa dia baik-baik saja. Dan setelahnya, aku tak bisa tidur lagi sampai azan subuh berkumandang.

 

Saat aku ke dapur untuk sarapan, ibu menyambutku dengan senyum dan salam paginya seperti biasa. Si kembar adik-adikku sibuk mengerjakan PR mereka. Rupanya lupa semalam belum dikerjakan.

 

Aku duduk di ujung meja. Menuang kopi ke gelasku. Tapi belum sempat kuminum, ibu mengambilnya dan menggantinya dengan susu. Dia cuma menaikkan kedua alisnya dan dengan matanya mengatakan No.

 

Aku sarapan dengan diam. Biasanya ayah yang suka mengajakku ngobrol, tapi dia sedang bekerja di pulau lain dan baru akan pulang bulan depan. Aku makan dengan cepat dan bergegas ke sekolah. Aku tak kuat berlama-lama dekat dengan ibu mengingat mimpiku semalam. Sungguh rasanya aneh.

 

==

 

Tengah semester yang melelahkan. Semakin banyak tugas. Semakin banyak ujian. Dan malam itu rupanya aku tertidur di atas buku-buku di meja belajarku.

 

Aku tidak begitu ingat kapan aku terbangun. Tapi aku terbangun oleh satu tujuan yang harus kulakukan. Aku segera menuju kamar adik-adikku. Mereka sedang tidur.

 

Aku tersenyum memandang mereka. Kulangkahkan kaki menuju tempat tidur si bungsu. Aku berdiri di sampingnya. Kuangkat tangan kananku untuk membelai dahinya. Lalu kuangkat tangan kiriku dan kumasukkan ke dalam kantong jaketku. Kutarik gunting besar dari dalamnya dan kuhujamkan ke jantung adikku berkali-kali. Matanya terbuka dan terbelalak.

 

Entah sudah berapa kali kuhujamkan. Dan tahu-tahu aku terbangun dari tidurku. Bajuku basah oleh keringat. Kupeluk diriku sendiri meskipun aku tak kedinginan. Aku sangat takut.

 

==

 

Dua mimpi dalam dua malam. Lain ceritanya kalau aku cuma memimpikan kuda poni yang menari-nari di atas pelangi. Aku tak pernah melihat darah begitu banyak. Kecuali dalam mimpiku di dua malam ini. Dan aku beruntung besok adalah hari Minggu. Karena kuputuskan malam ini aku tidak akan tidur. Lagipula kurasa aku takkan bisa tidur.

 

Sepulang sekolah tadi aku sudah membeli kopi kaleng dalam jumlah yang banyak. Kusembunyikan dari ibu, tentu. Dan malam ini sudah kuputuskan akan kuhabiskan malamku dengan membaca dan minum kopi. Di kamarku. Sendirian. Dan sudah kusingkirkan semua gunting dan alat tajam apapun, bahkan gunting kuku. Entahlah, mungkin aku gila. Tapi mimpi-mimpi itu begitu terasa nyata. Bahkan sampai sekarang aku masih seperti mencium bau darah di tanganku.

 

==

 

Sudah lewat tengah malam. Dan aku masih belum mengantuk. Hmm, rupanya kadar kafein dalam kopi kaleng ini tinggi juga, pikirku.

 

Aku turun dari kasurku. Menuju kamar ibu. Kosong. Aku heran. Kemana ibuku selarut ini?

 

Lalu aku ke kamar adik-adikku. Kudengar sayup-sayup suara ibuku di dalamnya .Aku lega. Ibu sedang bersama adik-adikku.

 

Tapi saat aku memutar pegangan pintu, terkunci. Aku mengetuk pintu itu dan memanggilnya. “Ma? Mama di dalam?” tanyaku. Tapi yang kuterima adalah teriakan ibuku menyuruhku pergi.

 

Aku panik dan mengetuk pintu itu lebih kencang. “Ma, buka pintunya, Ma…”, kataku. “Afif. Arif. Tolong buka pintunya.” Tapi anehnya mereka juga menyuruhku pergi.

 

“Kak, jangan kak! Jangan ganggu kami!”, seru salah satu dari si kembar. Aneh. Suaranya seperti menahan tangis.

 

Aku makin panik mendengarnya. Kugedor pintu itu dan meminta ibuku membukanya. Kupukul dengan tanganku. Kutendang. Kuhantam dengan tubuhku. Aku lakukan semuanya.

 

Dan pada akhirnya saat aku berhasil mendobraknya, aku terlambat. Ada kolam darah di kamar ini. Ibuku terbaring dan perutnya mengucurkan darah. Afif terbelalak dengan gunting besar menusuk jantungnya. Dan Arif tengkurap dengan sayatan lebar di lehernya. Kepalanya miring ke posisi aneh, hampir putus. Dan saat itu aku sadar aku di tengah-tengah mereka dengan parang besar di tangan kiriku. Aku berteriak sejadi-jadinya.

 

Aku masih berteriak saat bangun dari tidurku. Tapi ini bukan kamarku. Ada dua orang pria yang masing-masing memegang lenganku. Semuanya putih. Baju mereka putih. Dinding di belakang mereka putih. Bahkan aku memakai baju putih. Aku tidak ingat punya baju putih ini.

 

Aku mencoba melawan mereka. Tapi mereka dua kali lebih besar dariku. Dan saat aku menyerah kelelahan, seseorang menusukkan jarum suntik di lenganku. Entah apa isinya. Aku mulai merasa lemah. Sangat mengantuk. Tapi aku tak mau tidur lagi. Aku tak mau tidur dan bermimpi lagi. Tapi aku tak bisa melawannya. Dan di sisa-sisa kesadaranku, aku melihat ayah yang berdiri tak jauh dariku. Aku berusaha memanggilnya. Tapi aku terlalu lemah. Suaraku cuma berupa erangan.

 

Seseorang yang memakai semacam jas laboratorium menggamit lengan ayahku. Mengajaknya pergi. Tidak. Ayah tidak boleh pergi. Ini di mana? Apa yang terjadi denganku? Ayah harus menolongku!

 

Aku hanya bisa mengeluarkan erangan lemah.

 

==

 

Dr. Lydia membawa pria itu keluar ruangan. Dia tahu pria itu tidak akan bertahan lama melihat kondisi putrinya. Pria itu menangis. Tapi wanita itu sudah terlalu banyak melihat air mata, terutama dari para keluarga pasiennya, untuk bisa merasakan simpati. Hanya empati saat ini.

 

“Pak, saya harap Bapak tabah menghadapi ini semua. Kondisi putri Bapak memang parah. Tapi kita sama-sama berharap ini bisa diatasi. Memang akan makan waktu. Oleh karena itu, saya harap Bapak bisa bersabar," ujar dr. Lydia berusaha menghibur.

 

Pria itu cuma mengangguk. Dia menghapus air matanya. Menarik nafas. Berusaha tetap tegar. Topeng ketegaran seorang pria.

 

Dia baru saja memakamkan dua putra kembarnya. Istrinya masih terbaring koma. Dan pengadilan telah memutuskan bahwa putrinya harus dikurung di Rumah Sakit Jiwa dengan penjagaan ketat.

 



Membuat yayasan yang bergerak di bidang buku dan anak-anak adalah mimpi saya. Bermula dari kesukaan saya melihat tumpukan buku yang berjajar rapi dalam rak-rak panjang dan tinggi, walaupun sebenarnya saya bukan tipe orang yang suka membaca tapi mata saya akan berbinar dan senang sekali ketika berada dalam lorong di antara rak-rak buku perpustakaan. 
Pada saat masih mahasiswa dulu sebagian besar waktu saya habiskan di dalam perpustakaan. Jika ada waktu luang, saya akan menghabiskannya di toko buku terbesar di kota saya tapi tidak untuk membeli buku, hanya untuk duduk bersila di lorong rak buku.

Salah satu rumah buku yang menarik perhatian saya adalah d'buku, rasanya sangat nyama duduk di dalam rumah d'buku. Dalam hati saya berkata, suatu hari nanti saya akan mempunyai rumah seperti ini.
Selain rumah d'buku, saya juga takjub melihat perpustakaan di dalam Vatikan (ini pas liat film the Davinci Code) di mana buku-buku tua yang sudah rapuh masih tersimpan dengan baik dan rapi di ruang khusus berkaca. 

Ingin rasanya mengumpulkan buku-buku langka, menaruhnya dalam rumah buku impian saya. Saya membayangkan setiap hari jumlah buku akan semakin bertambah, rak-rak buku akan semakin tinggi, ramai dikunjungi, mulai dari anak-anak yang ingin belajar dan mendengarkan dongeng, pembacaan puisi dari teman-teman penggemar puisi, bedah buku, belajar menulis untuk teman-teman yang ingin menulis, hingga orang tua yang hanya ingin duduk melihat lalu-lalang para penggemar buku. Pemandangan yang indah untuk dilihat, semoga mimpi sederhana saya akan rumah buku bisa terwujud.




Suatu kali, saya pernah berdiskusi dengan beberapa teman lesbian. Topiknya seru dan panas, tentang seks. Seks menjadi pembicaraan yang tidak ada habisnya. Berhubungan dengan tema yang satu ini memang selalu panas, topik yang seksi.
Seksi, kata ini saja begitu berefek dengan pola pikir kita, kata seksi sudah bisa menjadikan fantasi kita mengarah pada keindahan fisik yang membuat darah dan setiap bagian tubuh kita bereaksi, berkedut tanpa bisa kita kendalikan. Secara tidak langsung, area lateral orbitofrontal dari korteks serebri yang harusnya bertanggungjawab mengontrol perilaku dibanjiri oksitosin yang membuat kita ingin melakukan kedekatan fisik yang lebih dengan orang yang kita cintai.   

Seks bukan hanya tentang kebutuhan, tapi juga kesenangan yang bahkan sampai berefek kecanduan.  Saya akan membahas safe sex dari sisi seks yang tidak sehat. Seks seharusnya bisa menjadi hal yang normal apabila bisa dikendalikan. Jika seks tidak tersedia, memang bisa mengecewakan, tapi tidak merusak. Apabila seseorang sudah mengalami kecanduan seks, pecandu menjadi tidak bisa mengontrol kebutuhan seksualnya. Seks mendominasi kehidupan individual dengan mengesampingkan kegiatan lainnya.

Sebuah kecanduan seksual paling sering diwujudkan dengan dua cara: seks untuk cinta dan seks untuk mengejar sesuatu yang berbeda, bervariasi atau kegiatan seksual ekstrim yang berfokus pada tindakan seks, bukan pada hubungan antara dua orang.  Ini tentu akan punya akibat tidak sehat dalam hubungan.  Pasangan pencandu seks tentu akan menjadi korban karena pecandu akan sangat sulit mengatur batas dirinya sendiri dengan kenyamanan pasangan.

Belum sampai seminggu ini saya baru selesai membaca novel tentang kecanduan seks ini, judulnya Fifty Shades of Grey. Bercerita tentang laki-laki yang addicted dengan seks dan berperilaku abusive pada pasangan seksnya.  Dengan latar belakang psikologis yang kacau karena kekerasan fisik dan seksual yang pernah dialami Grey membuat dia mencitrakan diri dengan kekerasan yang sesungguhnya dalam bentuk kebutuhan seksualnya. Sampai akhirnya Grey bertemu Annastasia, perempuan yang membuatnya merasakan dicintai dan mencintai dengan sepenuh jiwa. Keinginan kuat yang didasari karena ketidakinginan ditinggalkan Annastasia, membuat Grey bisa melewati perang psikologis dalam dirinya selama ini. Jadi dengan keberanian kuat akhirnya Grey bisa terbuka dengan Annastasia tentang kelainan seksualitasnya. Hingga kemudian ada kompromi-kompromi di antara mereka berdua untuk menyelesaikan permasalahan kecanduan yang menyimpang tersebut.

Dalam hubungan seks yang sehat, seseorang akan merespon kebutuhan pasangannya yang kecanduan seks. Apalagi bila mereka jelas mengungkapkan apa yang  mereka butuhkan, bagaimana perasaan masing-masing, dan bagaimana kecanduan ini berefek pada mereka berdua.

Berbicara tentang keterbukaan, untuk safe sex juga diperlukan saling jujur antara pasangan tentang latar belakang seksualitas masing-masing. Menjadi penting, karena banyak teman-teman lesbian yang beranggapan seks yang paling aman adalah seks dalam hubungan lesbian. Tidak ada ancaman penyakit berbahaya (HIV/AIDS), palingan juga cuma Infeksi Menular Seksual. Benarkah?

Yang perlu dipahami dari pemikiran ini adalah bagaimana virus ini berkembang dalam tubuh orang yang awalnya negatif HIV/AIDS.  Virus ini dapat tumbuh dalam tubuh manusia hanya apabila cukup (volumenya), dan itupun harus ada jalan masuk/pintu masuk yang antara lain:
  1. Darah yang masuk dalam tubuh inang baru. Misal melalui transfusi, jarum suntik yang tidak steril (bergantian pemakainya), atau luka yang masih segar beradu dengan luka di dua tubuh yang berbeda (yang mana salah satunya positif HIV/AIDS)
  2. Cairan sperma dan cairan vagina. Jadi jelas, penularannya hanya dari seks, dan harus ada perlukaan yang bisa menjadi pintu masuk virus.
  3. Air susu ibu. Siapa saja yang meminum air susu dari ibu hamil atau menyusui yang positif HIV/AIDS berisiko tertular virus tersebut.

Selain tiga hal tersebut, virus ini tidak akan mudah berkembang dalam tubuh lain. Termasuk di antaranya dari air liur (kissing) hanya akan bisa menular apabila dalam berciuman keduanya memiliki perlukaan yang bisa menjadi sarana masuknya virus dengan jumlah yang harus cukup banyak (kurang lebih 3 galon air liur) atau ketika dua-duanya sama-sama sedang sariawan dan ada darah yang masuk dari luka sariawan tersebut. 

Perlunya keterbukaan latar belakang seksual bertujuan untuk mengetahui apakah pasangan yang akan diajak bercinta memiliki latar belakang yang memungkinkan adanya virus itu dalam tubuhnya. Ada banyak kemungkinan yang perlu dipikirkan mengenai apakah pasangan kita “aman” dari virus ini atau tidak. Salah satunya tentang latar belakang penyalahgunaan obat-obatan (jarum suntik yang tidak steril), latar belakang seksual (dengan laki-laki atau perempuan berisiko), latar belakang kesehatan keluarga (ayah atau ibu). 

Kalau keterbukaan antara pasangan ini terjadi, dipastikan tidak akan ada lagi penyebaran virus karena akan ada tindakan preventif yang bisa dilakukan atas kesepakatan bersama untuk menghindari infeksi HIV/AIDS. 

Berbicara mengenai IMS (Infeksi Menular Seksual) kebanyakan penyakit ini menular dari kegiatan seksual. Dua hal yang sangat berbahaya berkaitan dengan keamanan seksual yang hanya bisa diselesaikan dengan keterbukaan antara pasangan. 

Penting bagi kita yang peduli dengan kesehatan psikologis maupun fisik untuk menyikapi bagaimana safe sex yang seharusnya. Karena ini bukan hanya berhubungan dengan ketenangan dan kenyamanan diri kita sendiri tapi juga pasangan yang kita cintai untuk bisa hidup bersama dalam batas yang sehat secara mental dan fisik.