Berbicara tentang mimpi, saya jadi teringat saat-saat saya masih kecil. Sewaktu saya masih di bawah 10 tahun, saya sangat dekat dengan Bapak. Kebersamaan terindah menurut saya tidak pernah lagi saya dapatkan setelah saya kelas 4 SD sampai saat ini. Kami sering bersama, dalam buaian pelukannya, saya sering mendengarnya bercerita tentang Kancil atau cerita-cerita lainnya. Di sela bercerita itu, kemudian dia akan bertanya, “Nek wes gede sok pengen dadi opo?”.  Jawaban lugu saya waktu itu seringkali berubah, “Pengen dadi dokter”, “Pengen dadi guru koyok bapak”, dan terakhir kali kedekatanku dengannya, jawaban tersering adalah, “Pengen dadi insinyur koyok Paklek Mul”.

Menurut saya Paklik Mul yang adalah adik Ibu saya merupakan orang terkeren di lingkungan saya. Orangnya masih muda, ganteng, banyak dikejar perempuan di kampus maupun di desa saya, organiser hebat di kampung baik untuk kegiatan pemuda maupun orang-orang tua, memegang sabuk putih perkumpulan silat di desa, most popular man lah dia. Jadi dari saya kecil, mimpi saya simple, pengen menjadi orang sehebat Paklik saya. Haha

Jadi begitulah, saya berusaha keras menyukai pelajaran IPA (berat men!!), tapi saat beranjak besar mulai menyukai Biologi. Ngintil Paklik saya ke mana saja dia pergi. Ikut Karang Taruna, mengorganisir membangun jembatan kampung, ikut  (lebih tepatnya melihat) Paklik melatih remaja kampung bela diri.

Tapi setelah saya SMP, saya melihat seseorang yang lebih membuat saya tidak hanya kagum, tapi terpukau (kata lagunya Astrid). Dia seorang perempuan yang mengubah mimpi saya, menginginkan tidak hanya mendapatkan perhatiannya tapi selalu berada di dekatnya (apapun caranya). Saya bahkan sampai ikut semua ekstrakurikuler yang dia ikuti. Mulai dari Seni Tari (jangan salah, saya masih mengingat beberapa gerakan tari sampai saat ini. Hehehe), Karawitan (Menabuh gamelan ternyata menyenangkan juga selama itu bersama dia), Paskibraka (sekecil saya ikut Paskibra, percaya nggak?), OSIS, dan yang teryahud adalah Majelis Taklim.

Ketikapun kami terpisah di SMU berbeda, saya tidak berhenti berusaha. Saya mengikuti semua ekstrakurikuler yang memungkinkan saya bisa bertemu dengannya setiap Minggu. PMR, OSIS, dan Sie Kerohanian Islam. Menjadi akhwat membuat saya bisa bertemu dengannya setiap sore di hari Kamis. Dan kedekatan itu semakin erat ketika dia yang setingkat di atasku diterima di Psikologi UNAIR.  Mimpi saya berubah, saya harus menjadi Psikolog. Tapi meskipun mengikuti bimbingan di Nurul Fikri sebulan lamanya sebelum UMPTN 2001, atas doa Ibu saya yang tidak menginginkan anaknya masuk Psikologi dengan alasan bidang kerjanya tidak mungkin di desa, saya gagal masuk Psikologi. Dan terdamparlah saya di UNESA untuk meneruskan tradisi keluarga yang sebagian besar adalah guru.

Saya yang keras, melawan keinginan keluarga yang tidak kalah keras. Meskipun sudah disiapkan satu posisi dosen, saya memilih berontak. Saya hanya ingin menjadi saya yang bukan boneka siapapun termasuk keluarga. Bersama pasangan saya, kami membangun mimpi baru. Menyatukan perbedaan dalam sebuah ruang kebebasan. Kami mendirikan komunitas, menciptakan lapangan kerja, tapi kandas ketika kebersamaan kami pun selesai.

Ada begitu banyak orang-orang luar biasa di sekitar kita yang tidak memiliki kesempatan berkarya. Semua keterbatasan yang ada membuat mereka mati dan harus mengikuti arus mayoritas. Menjadi budak penguasa (uang dan kekuasaan) dan mematikan mimpi. Bagaimana jadinya kalau kita membuat usaha dengan mengembangkan dan mewadahi kemampuan sekian banyak orang? Ada banyak ibu-ibu rumah tangga yang memiliki kemampuan memasak, menjahit, membuat kerajinan tangan di Kampung Seng (tempat kita dulu melakukan Baksos); teman-teman pelukis, penulis, maupun pemusik yang harus menjadi pekerja pabrik atau perusahaan. Apapun agama mereka, kepercayaan mereka, orientasi seksual mereka, semua keunikan itu kita bumikan dalam sebuah tempat yang bisa mewadahi kebutuhan mereka.

Saya suka nongkrong, suka makanan enak, suka membaca. Bagaimana kalau kemudian saya membuat cafe yang homey dengan deretan buku-buku hasil karya siapa saja penulis yang ingin berkarya, dilengkapi dengan lukisan di dinding, pernak-pernik siapa saja disetiap ruangan,  lagu yang mengalun tanpa perlu label dari artis, tapi orang-orang yang memang ingin mengembangkan diri dalam satu rumah yang siapapun boleh datang dan membeli setiap isi di dalam rumah itu.

Saya ingin memberi kesempatan bagi siapa saja untuk berkembang. Dalam satu ruang, kebebasan.

 



0 comments to "Membumikan Mimpi"

Posting Komentar

just say what you wanna say