Aku merasa tanganku basah. Agak lengket. Dan ketika kulihat, ternyata darah yang membasahinya. Kujatuhkan pisau di tangan kiriku. Suara jatuhnya mengagetkanku. Aku bahkan tidak tahu kalau aku menggenggam pisau itu. Nafasku memburu. Apa yang telah kulakukan?

 

Ada suara rintihan di belakangku. Aku berbalik untuk melihat apa itu. Dan yang kulihat adalah seorang wanita yang memegangi perutnya. Darah mengalir deras dari luka yang menganga lebar. Tapi dia tersenyum. “Ini memang harus dilakukan," katanya.

 

Lalu aku terbangun dengan nafas memburu dan tubuh penuh keringat. Aku menggigil. Bukan karena dingin. Kurasakan bulu romaku menegang. Aku takut. Kurasa ini yang terjadi pada semua orang kalau ia bermimpi membunuh ibunya sendiri.

 

==

 

Pagi itu sungguh tidak nyaman untukku. Mimpi yang kualami semalam terasa begitu nyata. Aku sampai harus memastikan ke kamar ibuku untuk meyakinkan diriku bahwa dia baik-baik saja. Dan setelahnya, aku tak bisa tidur lagi sampai azan subuh berkumandang.

 

Saat aku ke dapur untuk sarapan, ibu menyambutku dengan senyum dan salam paginya seperti biasa. Si kembar adik-adikku sibuk mengerjakan PR mereka. Rupanya lupa semalam belum dikerjakan.

 

Aku duduk di ujung meja. Menuang kopi ke gelasku. Tapi belum sempat kuminum, ibu mengambilnya dan menggantinya dengan susu. Dia cuma menaikkan kedua alisnya dan dengan matanya mengatakan No.

 

Aku sarapan dengan diam. Biasanya ayah yang suka mengajakku ngobrol, tapi dia sedang bekerja di pulau lain dan baru akan pulang bulan depan. Aku makan dengan cepat dan bergegas ke sekolah. Aku tak kuat berlama-lama dekat dengan ibu mengingat mimpiku semalam. Sungguh rasanya aneh.

 

==

 

Tengah semester yang melelahkan. Semakin banyak tugas. Semakin banyak ujian. Dan malam itu rupanya aku tertidur di atas buku-buku di meja belajarku.

 

Aku tidak begitu ingat kapan aku terbangun. Tapi aku terbangun oleh satu tujuan yang harus kulakukan. Aku segera menuju kamar adik-adikku. Mereka sedang tidur.

 

Aku tersenyum memandang mereka. Kulangkahkan kaki menuju tempat tidur si bungsu. Aku berdiri di sampingnya. Kuangkat tangan kananku untuk membelai dahinya. Lalu kuangkat tangan kiriku dan kumasukkan ke dalam kantong jaketku. Kutarik gunting besar dari dalamnya dan kuhujamkan ke jantung adikku berkali-kali. Matanya terbuka dan terbelalak.

 

Entah sudah berapa kali kuhujamkan. Dan tahu-tahu aku terbangun dari tidurku. Bajuku basah oleh keringat. Kupeluk diriku sendiri meskipun aku tak kedinginan. Aku sangat takut.

 

==

 

Dua mimpi dalam dua malam. Lain ceritanya kalau aku cuma memimpikan kuda poni yang menari-nari di atas pelangi. Aku tak pernah melihat darah begitu banyak. Kecuali dalam mimpiku di dua malam ini. Dan aku beruntung besok adalah hari Minggu. Karena kuputuskan malam ini aku tidak akan tidur. Lagipula kurasa aku takkan bisa tidur.

 

Sepulang sekolah tadi aku sudah membeli kopi kaleng dalam jumlah yang banyak. Kusembunyikan dari ibu, tentu. Dan malam ini sudah kuputuskan akan kuhabiskan malamku dengan membaca dan minum kopi. Di kamarku. Sendirian. Dan sudah kusingkirkan semua gunting dan alat tajam apapun, bahkan gunting kuku. Entahlah, mungkin aku gila. Tapi mimpi-mimpi itu begitu terasa nyata. Bahkan sampai sekarang aku masih seperti mencium bau darah di tanganku.

 

==

 

Sudah lewat tengah malam. Dan aku masih belum mengantuk. Hmm, rupanya kadar kafein dalam kopi kaleng ini tinggi juga, pikirku.

 

Aku turun dari kasurku. Menuju kamar ibu. Kosong. Aku heran. Kemana ibuku selarut ini?

 

Lalu aku ke kamar adik-adikku. Kudengar sayup-sayup suara ibuku di dalamnya .Aku lega. Ibu sedang bersama adik-adikku.

 

Tapi saat aku memutar pegangan pintu, terkunci. Aku mengetuk pintu itu dan memanggilnya. “Ma? Mama di dalam?” tanyaku. Tapi yang kuterima adalah teriakan ibuku menyuruhku pergi.

 

Aku panik dan mengetuk pintu itu lebih kencang. “Ma, buka pintunya, Ma…”, kataku. “Afif. Arif. Tolong buka pintunya.” Tapi anehnya mereka juga menyuruhku pergi.

 

“Kak, jangan kak! Jangan ganggu kami!”, seru salah satu dari si kembar. Aneh. Suaranya seperti menahan tangis.

 

Aku makin panik mendengarnya. Kugedor pintu itu dan meminta ibuku membukanya. Kupukul dengan tanganku. Kutendang. Kuhantam dengan tubuhku. Aku lakukan semuanya.

 

Dan pada akhirnya saat aku berhasil mendobraknya, aku terlambat. Ada kolam darah di kamar ini. Ibuku terbaring dan perutnya mengucurkan darah. Afif terbelalak dengan gunting besar menusuk jantungnya. Dan Arif tengkurap dengan sayatan lebar di lehernya. Kepalanya miring ke posisi aneh, hampir putus. Dan saat itu aku sadar aku di tengah-tengah mereka dengan parang besar di tangan kiriku. Aku berteriak sejadi-jadinya.

 

Aku masih berteriak saat bangun dari tidurku. Tapi ini bukan kamarku. Ada dua orang pria yang masing-masing memegang lenganku. Semuanya putih. Baju mereka putih. Dinding di belakang mereka putih. Bahkan aku memakai baju putih. Aku tidak ingat punya baju putih ini.

 

Aku mencoba melawan mereka. Tapi mereka dua kali lebih besar dariku. Dan saat aku menyerah kelelahan, seseorang menusukkan jarum suntik di lenganku. Entah apa isinya. Aku mulai merasa lemah. Sangat mengantuk. Tapi aku tak mau tidur lagi. Aku tak mau tidur dan bermimpi lagi. Tapi aku tak bisa melawannya. Dan di sisa-sisa kesadaranku, aku melihat ayah yang berdiri tak jauh dariku. Aku berusaha memanggilnya. Tapi aku terlalu lemah. Suaraku cuma berupa erangan.

 

Seseorang yang memakai semacam jas laboratorium menggamit lengan ayahku. Mengajaknya pergi. Tidak. Ayah tidak boleh pergi. Ini di mana? Apa yang terjadi denganku? Ayah harus menolongku!

 

Aku hanya bisa mengeluarkan erangan lemah.

 

==

 

Dr. Lydia membawa pria itu keluar ruangan. Dia tahu pria itu tidak akan bertahan lama melihat kondisi putrinya. Pria itu menangis. Tapi wanita itu sudah terlalu banyak melihat air mata, terutama dari para keluarga pasiennya, untuk bisa merasakan simpati. Hanya empati saat ini.

 

“Pak, saya harap Bapak tabah menghadapi ini semua. Kondisi putri Bapak memang parah. Tapi kita sama-sama berharap ini bisa diatasi. Memang akan makan waktu. Oleh karena itu, saya harap Bapak bisa bersabar," ujar dr. Lydia berusaha menghibur.

 

Pria itu cuma mengangguk. Dia menghapus air matanya. Menarik nafas. Berusaha tetap tegar. Topeng ketegaran seorang pria.

 

Dia baru saja memakamkan dua putra kembarnya. Istrinya masih terbaring koma. Dan pengadilan telah memutuskan bahwa putrinya harus dikurung di Rumah Sakit Jiwa dengan penjagaan ketat.

 



0 comments to "What Dreams May Kill"

Posting Komentar

just say what you wanna say