Sebagai perantau yang tinggal di Surabaya, saya cukup sedih dan berempati kepada keluarga yang terkena musibah. Dan sedikit misuh ketika di tengah musibah itu muncul akun yang “nyukuri” mereka tidak bersama kita lagi hanya karena berbeda ras dan agama. Sungguh saya malu. Tapi hati saya besar melihat, walikota Surabaya yang benar-benar hadir mendampingi para keluarga korban. You’re awesome, Mam.

Sepuluh tahun lalu 26 Desember 2004, tsunami telah membuat nyawa 250 ribu masyarakat Aceh melayang, lalu tanggal 28 Desember ini diperkirakan seluruh penumpang berjumlah 155 orang dan tujuh awak pesawat 7 yang kebanyakan berasal dari Kota Surabaya meninggal dalam perjalanan Surabaya-Singapura. Perjalanan yang harusnya penuh suka ria untuk merayakan tahun baru berubah menjadi duka cita bagi keluarga yang ditinggalkan maupun masyarakat.

Saya percaya kematian bukanlah langkah terakhir bagi seorang diri. Bahwa setelah mati ada kehidupan yang kekal. Dan kematian adalah pelajaran terbaik bagi manusia.

Penyintas, survivor yang tangguh kita harapkan muncul dari seluruh keluarga korban. Bahwa kehilangan akan menimbulkan luka, trauma mendalam itu pasti. Meski adagium, waktu yang akan menyembuhkan, sepatutnya kita selalu bersiap diri menghadapi yang kita anggap terburuk di dunia ini.

Agama saya mengajarkan, beribadahlah seolah-olah besok akan mati dan bekerjalah seolah-olah kita akan hidup selamanya, toh juga Tuhan memberikan tiga misteri yang tak mungkin kita pecahkan hari ini juga. Yaitu rejeki, jodoh dan kematian. Dari itu kita selalu diingatkan agar waspada terhadap kematian dan membuat wasiat yang baik.

Waktu tidak akan pernah kembali, maka saya percaya berbagai kehilangan atau belum tercapainya sesuatu dalam hidup ini merupakan kekayaan batin bagi kita. Apakah kita memilih menjadi pecundang atau pejuang, apakah kita memilih merasa cukup ataukah harus “ada” sesuatu lagi yang harus dicapai. Apakah kita menjadi penyair galau seperti ……ahhh sudahlah atau bekerja keras macam Basarnas ini.. Bahwa momentum itu sebenarnya, tidak hanya pergantian tahun masehi, namun pergantian tanggal hari, ke hari.  Dan sekali lagi saya mengingatkan pada diri sendiri, ada sebuah perkataan dari Uswatun Hasanah saya yaitu :“Hari ini harus lebih baik dari  hari  kemarin, jika  hari ini sama seperti  hari kemarin kita adalah golongan orang yang rugi, dan jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin kita termasuk golongan yang celaka”.

Kehilangan Yang Bukan Kehilangan

Kalau kita pernah membaca Kho Ping Hoo, saat kita menangis karena kehilangan seseorang sebenarnya kita menangisi diri kita sendiri. Kita menangis karena ego kita yang tak mau ditinggalkan. Menurut Ibnu al-Qoyyim (cendekiawan muslim Abad 13), dunia ini ibarat bayangan, kejar dia dan engkau tak akan pernah bisa menangkapnya. Balikkan badanmu darinya dan dia tak punya pilihan lain kecuali mengikutimu.

Seperti teman-teman yang jomblo, gagal move on, itu hanya karena egonya. Dia bahagia dengan kesakitan itu. Mau contoh... Ah sudahlah. Maafkan tulisan ini hanya bermaksud refleksi, bahwa ketika kita kehilangan sesuatu, biarkan saja kesedihan datang. Karena dengan bersedih kita masih mampu merasakan sakit dan air mata, dan itu manusiawi. Tetapi yakinkan pada diri kita, bahwa kesedihan itu ada masanya, lalu kita mengenangnya sebagai kaleidoskop. Perlu dikenang tetapi dengan penuh penghormatan dan kebahagiaan bukan lagi kesedihan.

Tanpa mengecilkan yang sedang berduka, bahwa kehilangan atas nama apapun telah menjadi kepastian di Buku Besar. Alasan-alasan kita untuk menuntut agar kehilangan itu terkompensansi hanya sekedar meringankan beban hati kita, bahwa demi kemanusiaan dan penghormatan terakhir untuk almarhum/almarhumah, kita telah berjuang agar kehilangan itu tidak sia-sia.

Masih banyak musibah di dunia ini, perang, terorisme, kejahatan atas nama apapun, dan symbol agama belum tentu menjadi solusi. Justru seringkali menjadi pemicu pertikaian dan peperangan. Saya tidak menginginkan bencana dan musibah lagi agar kita bisa merasakan apa itu waktu yang berharga, kesetiakawanan, kemanusiaan. Sekali lagi, setiap kali kematian adalah pelajaran.

Maka di waktu yang penuh momentum ini, biarlah kesedihan, kehilangan memeluk kita hari ini, dan biarlah besok kita merencanakan yang terbaik tentu sambil tetap menyerahkan proposal itu kepada pemilik jiwa kita yang sebenarnya.


1 comments to "Catatan Akhir Tahun: Kehilangan yang Bukan Kehilangan"

  • aku...salah satunya, penikmat kesedihan dan patah hati. semaximal dinikmati,sesegera jg kembali ke titik nol...dan yippy,bersiap memandang kebahagiaan baru :D

    Patah hati cepat move on...

    Walaupun ada kesedihan terbesar yg smp skrg msh aja nangis klw (bahkan tdk sengaja) teringat...yaitu kehilangan bapak ibu. Kejadian itu jg terjadi di akhir tahun 2008...
    :)Damaikanlah mereka di surgaMU ya Rab, amien

Posting Komentar

just say what you wanna say