Ada beberapa orang yang mati meninggalkan sesuatu yang masih berasa setelah lewat sekian puluh atau bahkan ratus tahun; sebuah perjalanan untuk ingatan masa hidup seseorang ketika sudah tiada. Namun tidak sedikit di antara mereka yang menyisakan rasa getir ketimbang rasa lain untuk diingat dalam sebuah cerita, cerita yang akan terus dikumandangkan tahun demi tahun melawan waktu untuk bertahan namun pada akhirnya hilang tidak berbekas, mati mengikuti ajal sang pemilik cerita.

Pagi itu setelah usai menyiapkan dagangan di Parikesit, saya harus ke belakang untuk mengambil keperluan bebersih di teras depan yang kami jadikan tempat berjualan. Di saat melewati ruang baca, saya terhenti. n1nna menangis sesengukan. Semalam dia tidur di ruang baca setelah melalui saat yang berat karena menerima berita teman dan rekan sejawatnya mengalami plasenta akreta pasca melahirkan.

Masih dengan tubuh bergetar karena tangis, dia bercerita kalau temannya baru saja meninggal beberapa saat tadi. Waktu di sekeliling saya seolah berhenti. Saya bahkan tidak merasakan bisa bernafas dalam hitungan detik hingga akhirnya berhembus seakan tidak mengenal henti. Selamat jalan siapapun engkau.

Saya memang tidak mengenalnya secara personal, sejenak saya menyampaikan duka pada semesta untuk mengantarkannya menjalani masa setelah kehidupan. Benarkah ada masa setelah kematian? Ah, sudahlah, dia pasti sangat meyakini itu. Semoga semesta menerima jiwamu untuk terus hidup di dalam setiap diri yang kau tinggalkan dalam kenangan baik.

Saya bersedih bukan hanya karena kepergiannya, tapi melihat n1nna yang menangis karena kehilangannya. Ya, hidup hanya berisi tiga masa pertemuan, melewatinya melalui setiap masa-masa sulit bersama, lalu pergi untuk mati atau pergi begitu saja karena memang tidak memiliki visi yang sama dalam menyikapi hidup. Menurut apa yang diyakini sahabat n1nna, ia mati dalam syahid setelah berjuang untuk melahirkan ditambah pula ia mengalami kematian di hari yang diagungkan agamanya, hari jumat. Menurut salah satu hadis yang cukup sahih periwayatnya: “Syahid ada tujuh macam selain gugur (terbunuh) di jalan Allah; orang yang mati karena penyakit lepra adalah syahid. Orang yang mati tenggelam adalah syahid, orang yang mati karena penyakit bisul perut adalah syahid; orang yang mati terbakar adalah syahid; orang yang mati karena tertimpa bangunan atau tembok adalah syahid; dan wanita yang gugur disaat melahirkan (nifas).”[HR. Imam Thabaraniy]

Satu lagi duka saya terima baru saja beberapa jam yang lalu, anak dari om-nya Niken, yang merawat keponakannya, meninggal karena gagal ginjal.

Banyak kematian yang membuat saya belajar untuk lebih memaknai hidup. Berlomba dengan sisi egois yang manusiawi melekat dalam diri saya untuk terus berupaya menjadi lebih baik

Merasakan kesedihan karena hal yang seperti ini membuat saya teringat dengan seseorang yang sedang memenuhi pikiran dan perasaan saya akhir-akhir ini. Tentang bagaimana dia melalui hidup dan ketakutan saya. Beberapa kali pertemuan yang singkat, saya secara perlahan mulai menaruh respek terhadap dirinya bahkan angkat topi dengan wawasan yang dimilikinya, karena dengan usia yang masih begitu muda mampu menjadi teman ngobrol ataupun diskusi yang menyenangkan. Tapi sepertinya itu hanya sebatas pemahaman, bukan pengertian yang kemudian dia bawa dalam penyikapan yang bijak dalam hidup seluas pengetahuannya.

Ah, saya memang selalu terlalu berlebihan menyikapi sesuatu. Tapi begitulah saya, melodramatis seperti hidup yang berisi pigura-pigura tentang banyak hal dan orang yang tidak pernah kita kira, harapkan bahkan inginkan. Dua sisi dalam dirinya membuatnya selalu menyikapi banyak hal dalam dua acara pandang yang kontradiktif. Menginginkan tapi juga tidak mau, mengagumi tapi membenci, menghormati tapi sering mengatakan orang tersebut tidak layak menjadi manusia. Bipolar membuatnya sempurna dalam ketidaksempurnaan.

Menyayanginya membuat kita harus bisa memahami cinta yang tanpa syarat. Tapi ternyata itu menjadi sangat berat ketika saya mengira cinta saya sudah tanpa syarat. Terbukti dua mingguan lalu mantannya dengan santai bercerita mereka berhubungan intim lagi (setelah mati-matian pertengkaran dengannya karena kelancangan saya bilang, “Kamu masih miliknya dia,” membuat kami tidak bertegur sapa cukup lama), dia malah beberapa kali masih bercinta dengan orang yang tidak dia inginkan tapi selalu bersamanya dalam hampir semua aktivitasnya

Seiring berjalannya waktu, terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan apa yang sebenarnya saya inginkan darinya. Kesibukan demi kesibukan seolah silih berganti mewarnai hari yang harus dijalani. Membumikan mimpi tentang rumah singgah yang nyaman untuk pengembangan diri yang juga memberikan banyak manfaat untuk sekitar. Bahkan ketika menulis ini saya ikut berandai-andai, bahwa saat ini dia mungkin akan melihat bahwa ketidaksempurnaan saya dalam menjalani hidup serupa juga dengannya yang tidak memahami bagaimana menerima ketidaksempurnaannya.

Membaca tulisan ini mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya mengapa dia yang saya temui dan kenal dalam waktu yang relatif singkat namun memberikan kesan yang mendalam hingga rela menuangkannya dalam beberapa tulisan saya terakhir ini. Yah, itulah sosok dia yang masih saya kagumi dalam ketidaksempurnaannya. Dia tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat orang lain respek terhadap dirinya dan tulus melihat orang lain sebagai teman untuk sekedar ngobrol, diskusi dan ngopi hingga tetes terakhir.

Seperti yang pernah dikatakan Sir Peter Ustinove, tidak ada gunanya mati jika anda tidak menghantui ingatan seseorang. Jika anda tidak meninggalkan secercah rasa. Diabukan hanya meninggalkan secercah rasa dalam kenangan perjalanan hidup yang saya jalani, sepertinya saya harus lebih keras terhadap diri saya sendiri untuk mencintainya tanpa syarat agar hidup saya (yang tidak pernah saya tahu kapan waktu akan berhenti) bisa membuat tetap dalam batas yang saya bangun dengan susah payah selama ini. Menjalani hidup dengan tanpa syarat, untuk membuat hidup lebih bisa saya tinggalkan dan akan dikenang dalam kebaikan.

Mungkin saya salah satu orang yang menganggap penting eksistensi saya di dunia. Hingga apa yang dipikirkan orang lain begitu penting untuk saya. Tapi, buat saya ini bukan hanya tentang kenangan, melainkan merubah ketidaktulusan yang sudah membusuk dalam setiap diri, hingga hidup orang lain dianggap (hampir semua orang di dunia ini) bukan urusannya, karena tidak penting dan membawa manfaat untuknya.

Untuk saya, hidup adalah menghidupkan. Karena hidup terlalu singkat untuk hanya memikirkan dan menjalaninya (hanya) untuk kepentingan dan kebutuhan diri (kita) sendiri.


0 comments to "Kematian dalam Kehidupan"

Posting Komentar

just say what you wanna say