Bukankah setiap diri berhak bahagia, Nit..?
Nit, ah, Nit-Nit-ku
Kenapa norma dan aturan buatan orang-orang yang sudah mati itu mengekang kita?
Kamu, masihkah di persimpangan itu?
Peluk yakin dan rasa kita, Nit..

Pembenaran atas segala salah
Itukah yang sedang kita cari?
Bukan, sayang…
Gelap bukan selalu hitam
Terang tidak hanya putih

Apa guna pembenaran
Sementara nurani berbicara
Semua yang nyata kita rasa
Ataupun sejarah yang telah ditulis dengan tinta kehidupan

Bukan putih yang kita cari
Tapi pelangi yang sempurna ketika hidup tidak hanya satu warna
Tentang D, perempuan yang kuat secara fisik dengan sinusitis dan asma yang kerap membuatnya terpuruk dalam kelemahan yang selalu dia benci. Di usianya yang saat itu mendekati seperempat abad, dia adalah sosok mandiri yang penuh kasih dan lemah lembut tapi tegas. Satu kali ketika ada seekor semut yang merambat di kemeja yang aku kenakan, dengan penuh ke-hati-an dia meminta permisi ke aku, “Maaf, ya Nit, sebentar ada semut di pundakmu”. Aku kebingungan mau menepiskannya dengan serampangan, tapi kemudian dia cegah, “Semut juga makhluk hidup, Nit, dia berhak mendapat kesempatan hidup selama tidak menyakitimu. Jangan dibunuh, dong,” begitu katanya. Bukan hanya penuh kasih, dia juga seseorang yang sangat idealis, memperjuangkan haknya dan sangat yakin dengan tujuan hidupnya

Bermula dari teman hidupku, Dhyta. Aku tidak berani menyebutnya pasangan atau pacar karena kebersamaan kami tidak berstatus meskipun kami sudah tinggal dan hidup bersama selama dua setengah tahun. Kami sama-sama tidak tahu bentuk hubungan yang membuat kami begitu tergantung dan saling mengikat karena kami sama perempuan. Kami tidak mengenal dunia lesbian atau menyadari orientasi seks. Apalagi kami berangkat dari perkenalan di sebuah partai yang sangat fundamentalis tentang agama waktu pertama kenal. Ya, denial ku membuat dia meninggalkanku dan memilih D yang jelas sudah mempunyai kedewasaan dan keyakinan kuat dalam segala hal di hidupnya, termasuk orientasi seksual. Di saat D dan  Dhyta sudah berakhir karena Dhyta yang masih terlalu labil menikmati euforia dunia lesbian yang begitu luas dikenalkan D membuatnya sekali lagi menyelingkuhi D. Buat D, hubungan itu tidak pernah main-main, perempuan berprinsip kuat dan tegas ini kemudian memutuskan Dhyta dan memilih mendekatiku.
Selama kebersamaanku dan D dalam proses pertemanan, aku banyak melihat kepribadiannya yang selalu menenangkan. Kecerdasannya membentuk pribadi yang tidak akan bisa membuatnya dipermainankan siapapun. Keteguhannya terbukti dengan memperjuangkan keinginannya sampai batas yang akan membuat siapapun tertunduk menyerah. Setelah tujuh kali dalam tujuh bulan kebersamaan kami dia menembakku dengan ancaman dia tidak akan lagi mau menemuiku dan akan menghilang dari hidupku, aku takluk. Sepulang dari Pontianak selama tiga bulan kami terpisah, aku menyadari kebutuhanku bersamanya lebih besar dari pada egoku untuk tidak belajar mencintainya. Awal kebersamaan kami, di rumah yang kami kontrak bersama aku banyak mengecewakannya, di saat dia bekerja, aku ke kampus dan bekerja hingga malam, kemudian malamnya aku malah menyibukkan diri membentuk wadah komunitas lesbian di kota kami sampai dini hari. Jarangnya kami bersama tidak membuatnya mundur, bukan hanya menuntunku menemukan diriku dia juga tetap menjadi diri yang sabar menunjukkan kasihnya. Bagaimana kemudian aku tidak jatuh cinta?
Dari dia aku belajar mencintai, belajar mengerti bahwa relasi bukan hanya tentang cinta yang tidak terdefinisikan dan teramat susah dimengerti. Dia membuatku mengerti, kebersamaan kami bukan sebatas saling sayang, tapi komitmen yang teguh untuk saling menguatkan, saling mendukung, saling menghargai, saling memberi dengan tujuan yang jelas. Menjalani hidup bersama sebagai pasangan hidup, teman, sahabat, juga musuh untuk saling mengkritisi pemikiran dan penyikapan terhadap sesuatu yang perlu kami perluas dan pelajari dalam perjalanan kehidupan.
Dia perempuan dewasa di usianya yang bahkan lebih muda 3 bulan 19 hari dariku. Meskipun sudah 6 tahun 2 bulan ini kami berpisah, kebersamaan dengannya adalah kebersamaan tersempurna yang membawa begitu banyak kebaikan dalam hidupku. Buatku ini bukan tentang move on, tapi dia menyisakan kepribadian yang sampai kapanpun akan melekat kuat dalam ruhku. Menyatu dan kekal menyisakan diriku yang saat ini berdiri tegak dalam keadaan yang luar biasa. Dia yang terbaik, meskipun menyisakan kepahitan yang sampai sekarang masih belum netral, dia yang tersempurna. Thank you, Nut, for every perfect thing we shared. Tiga tahun tujuh bulan kebersamaan kami yang tidak akan menyisakan sedikitpun penyesalan. Meskipun banyak kata-kata dan sikap menyakitkan yang masih kamu berikan sampai saat ini, aku yakin, di hati mu masih menyimpan ruang yang sama sepertiku. Ruang yang bernama KITA.


0 comments to "No Sin Nit"

Posting Komentar

just say what you wanna say