Puisi, salah satu karya prosa yang terikat pada aturan tertentu. Saya tak hendak menjelaskan bagaimana puisi, pembagian puisi, sahabat bisa cekidot di http://riniintama.wordpress.com/2012/11/12/struktur-puisi/ .

Saya menikmati puisi sejak SMP. Saat SMA di tengah tahun 90, PORSENI (Pekan Olahraga dan Kesenian), seleksi kelas adalah ajang tipi-tipi salah satu yang mendebarkan, karena saya berambisi menjadi pembaca puisi yang dapat memenangi lomba tingkat kabupaten. Sayang saya selalu kalah di teknik, artikulasi dan pengucapan yang belum mencengangkan juri. 

Saya masih ingat selalu ada dua jenis puisi yang harus dipilih yaitu, puisi wajib dan puisi pilihan. Biasanya puisi wajib, mempunyai judul beraroma nasionalisme seperti Doa Serdadu Sebelum Berperang milik WS Rendra, Cerita Buat Dien Tamaela, Karawang – Bekasi milik Chairil Anwar, Tiga Karangan Bunga milik Taufik Ismail dan sebagainya. Kemudian pada puisi pilihan yang beraroma romantik-relijius seperti Hujan Bulan Juni milik Sapardi Djoko Damono, Cintaku Jauh di Pulau, Do’a (kepada Pemeluk Teguh) milik sang maestro Chairil Anwar, puisi kontemporer “sulit” milik Sutardji Calzoum Bachri seperti yang berjudul Tapi dan sebagainya

Pada tahun 1990an, rata-rata dari puisi dari penyair angkatan 1945 dan 1966 menjadi kiblat. Tentu penyair yang diakui oleh Orde Baru yang saat itu berkuasa. Puisi milik Gunawan Muhammad, Umbu Landu Paranggi apalagi puisi perlawanan Wiji Thukul seolah tak nampak. Demikianlah suatu pemerintahan pun dapat turut campur dalam perkembangan sastra.

Coba sahabat membaca dan menikmati karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Tapi yang diciptakannya pada tahun 1981, di mana pada saat itu ia melahirkan puisi kontemporer yang bermain-main dengan diksi dan anti semiotika:

TAPI
aku bawakan bunga padamu
                                       tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
                                       tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
                                       tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
                                       tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
                                       tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
                                       tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
                                       tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
                                       wah!

Diikuti oleh dedengkot Horizon lainnya, Jamal D. Rahman, masih juga bermain-main dengan hiperbola:

Rubaiyat Januari
1
biar diam pecah di bismilah batu-batu
takkan patah alif-alif tiang perahu
tempat berkibar biru senja gugusan cintaku
mengarungi namamu di keluasan tubuhku
2
dari tubuhku berlahiran kunang-kunang bianglala
di lengkung bianglala matahari pun terbakar
di gemercik sungaiku batu-batu memadatkan suara
di lengkung suara diammu pun pasti kudengar
3
kudengar juga puisimu di derit-derit pintu
ketika angin memainkan sunyi rumahmu
kucari-cari engkau di linang airmataku
ketika angin mengabarkan isak rindumu
4
yang berlinang di airmatamu adalah rinduku
di airmataku rindumu berlinangan juga
yang berenang di air tubuhmu adalah cintaku
di air tubuhku cintamu mengekalkan bianglala
5
berapa lama aku harus memeras sunyi
seribu bulan ataukah sepanjang diam atas debu
di balik malamkah wajahmu sembunyi
ataukah di kedalaman cintaku
6
ah, di kedalaman cintaku wajahmu sembunyi
membakar gelisah di tungku matahari
di geriap darahku nafasmu begitu sunyi
memutihkan rangka tulang-tulangku lagi
7
engkau geriap darah di kemarau tubuhku
gugur angin kering dan basah kulitku kembali
daunan pun tumbuh dari ajal-ajal kuku
sebab tanganmu hijau pupus bergaris januari
8
sebab tanganmu hijau pupus bergaris januari
di jemariku takkan tumbuh kuku yang lain
sebab tanganku garis putih berembun februari
lekuk jemarimu takkan bisa di buku yang lain
9
di buku-buku tubuhku ilalang mengering
pecah kemarau dan tanah tinggal ruas sepi
hanya tanganmu, hanya tanganmu tak pernah kering
menyalami ilalang sebelum mengabu di sepi api
10
karena cemas dicabik-cabik layar waktu
kujahit cintaku di angin semilir
lalu aku pun kembali pada batu
menikmati diammu di ricik-ricik air.

Kita tak boleh lupa seterusnya ada Zawawi Imron, Caknun, Gus Mus dan nama yang berkibar di panggung lokal. Ada Mashuri, Tengsoe Tjahyono, Surabaya, Dimas Arika Jambi.

MADURA AKULAH DARAHMU
(Zawawi Imrom)

di atasmu, bongkahan
batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga
doa
biar berguling di atas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri
cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu

seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

di sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu

aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.

Puisi-puisi “gelap” dari Goenawan Muhamad, Afrizal Malna dan Wiji Thukul besar dalam “pengasingannya”, dibaca dari stensilan atau milis-milis yang jauh diendus pemerintahan. Jangan dilupakan juga puisi “lucu” Prie GS, Joko Pinurbo. Untuk Sitok Srengenge? Saya tidak akan pernah membahas “penyair syair berdarah ini”.

Mungkin seperti inilah penampakan puisi gelap :

Chanel OO

Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman
Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.

1983 (Karya Sapardi Djoko Damono)

Tuan

Tuan Tuhan, bukan?  Tunggu sebentar,
saya sedang keluar. 

(karya Afrizal Malna)

Sangat berbeda dengan puisi pamflet Wiji Thukul:
P E N Y A I R

jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!

sarang jagat teater
19 januari 1988


Kemudian era gegap gempita media facebook dan mikrobloging yang memunculkan “penyair” baru. Saya menominasikan tokoh KRS- Alek Subairi, Dodi Kristianto, parikesit n1nna dan  Irwan Bajang.  Semoga mereka konsisten menulis puisi, mari merayakan puisi. Ingin tahu puisi mereka? Coba cari di buku atau di media maya.


0 comments to "Mari Merayakan Puisi"

Posting Komentar

just say what you wanna say