Bukan hanya pada gemerisik daun
ranting-ranting yang terayun
bunga-bunga bergoyang menahan terpa
kibaran umbul-umbul di jalanan
Semilir angin di taman ini
membawamu pergi juga, kasih
Aku pun bergetar
Pertemuan yang lama diangankan
lalu ditindas waktu begitu saja

Percakapan yang canggung
kata-kata perpisahan
lahir dari perasaan yang tak diungkap
dan kosongnya harapan akan pertemuan kemudian...

Ah, sudahlah!
Kelabu kamar kosong
pakaian yang tergantung di dinding
berseraknya catatan buram
detak jam dinding
gerunyam perasaan sendiri
sudah menunggu

Biarkan saja taman ini
tak punya kenangan pertemuan itu
Supaya ketika singgah lagi dari jauh
tidak jadikan tempat ini
sebagai rendezvous.

Bagi dia, dan tentu saja aku,
cahaya matari yang menerobos celah tanah itu
adalah cinta, nona.
Akan, tentu saja aku juga, dia belai
jatuhnya sinar di dinding itu
telapak tangannya akan disentuhkan
pada sinar itu.
Jika petang tiba
dalam guanya yang lembap dan dingin
dia hayati detik-detik lenyapnya terang.
Tiap malam cahaya itulah yang diimpikannya.

Karena itu teruslah bersinar engkau,nona
cahayamu yang berhamburan di luar sana
mendapat tempat jatuh dari beledru sutra
dalam lubang gelap ini.
Dia akan melukis tempat ini
mengabstraksi gelap terangnya
menulis harapan dan impian hati kecilnya;
'kan dia kabarkan pada dunia
deritanya di bawah tanah
supaya semua orang tahu
dia juga hidup di antara mereka.

Dan khusus untuk aku dan engkau, nona
jangan buat dia sadar
bahwa cintanya tak berbalas.
Biarkan dia mati menggenggam cinta itu
Doaku: "semoga kehadiran kami
tidak menjadi beban
yang memberati pundakmu!"
Sudikah engkau, nona?

Sekiranya pertemuan itu objek kongkret
Akan aku bingkai dia dalam hatiku
lagi dan lagi tiap suara
rona riak air muka
geletar hasrat yang begitu dekat
supaya dapat aku rasakan lagi
ketika rasa ingin bertemu
terbentur dinding ketiadaan

Tapi pertemuan itu tinggal jadi objek abstrak
Dan memang begitulah dia
nyata dalam mimpi dan lamunan
Seperti sekarang ketika menatap 
butir-butir hujan jatuh
lalu lenyap dari permukaan
merasuk kealam ketiadaan
lewat celah-celah tanah

Sisakan separuh gelas dari minuman itu
Supaya yang aku tatap disini
bukan hanya botol-botol kosong
angan-angan akan wujudmu
dan kenangan hadir menyertai engkau
Tapi juga pintu untuk memasuki jiwamu
lewat bekas di gelas bibirmu..

Antara mimpi dan kenyataan
dan lurah curam untuk didaki
ke mana pun arah memandang
Takut dan gemetar tubuhku
Padas tempat aku bergantung
Tak lebih tajam dari pecahan gelas
Jari-jariku mengelupas...

Jangan habiskan minuman itu
Lihat arak itu bergetar di atas meja
Rasakan kekosongan di baliknya
Lewat lubang itulah aku mencoba hadir...

Beberapa waktu tanpa kehadiranmu

Gegas seolah makin memanjang
Matahari kehilangan tinggi
Di antara langkah yang semakin cepat
Rindu menggantung
Tak terpenuhi juga harap ini

Ketika takdir hampir menjelma mimpi
Dan, nadi ingin berontak
"Namamu mulai menjadi darah mengikat dan menagih di hari-hari yg resah"
Marahkah kita pada rasa itu?

Tak mengapa,

Bagiku masih menyisa

Suatu kali, kita akan kembali duduk divsini
Di antara dinding kota, senja yang terbangun, dan jarak yang semakin akrab
Maka, bicaralah kita
Kali ini, di mana rindu kita biarkan menyisa?

Jangan meninggalkan panggung, bisiknya
Berdirilah dengan tegak, kau dan kakimu sendiri
Lampu-lampu memang kadang membuatmu silau,
Tetapi kau tahu, di balik itu semua,
Kaulah yang memegang kendali cerita

Jangan meninggalkan panggung, terutama saat cerita sudah dimulai hampir setengah
Percaya saja, pada tanganmu dan dialog-dialog yang sudah kau hafal
Hatimu akan menemani dalam semua adegan

Jangan, jangan pernah meninggalkan panggung
Karena pada akhirnya, kita semua akan mendapat peran
Meski entah di adegan keberapa
Kau tahu, kan, dialogmu adalah milikmu sendiri
Tak akan ada yang bisa menggantikan

Percaya saja
Penonton yang mungkin menudingmu,
Sebenarnya menggagumi keberanianmu,
Penonton yang mungkin meneriakimu,
Sebenarnya menyesali kesempatan yang kau miliki

Jadi, jangan pernah meninggalkan panggung
Tunggulah adeganmu
Nikmati dialogmu
Resapi lakonmu

Jangan, jangan pernah meninggalkan panggung
Karena pada adegan yang kau mainkan, selalu ada doa yang dititipkan

Secangkir mimpi dari langit yang koyak separuh
Frame-frame masa lalu yang semakin terlihat rapuh
Mengantung tanpa ada yang peduli
Di tiang-tiang listrik kota, di persimpangan mimpi-mimpi alpa

Kaukah yang menjelma perempuan itu?
Menaruh nasib terlalu dekat dengan persimpangan
Meski di sana, lampu memerah begitu cepat
Dan, kau tak pernah tahu, jika sebentar saja berjalan lambat
Doa-doa baik akan dicegat
Diambil mereka yang lebih dulu mampu mengingat

Dentang terdengar dari stasiun kereta
Mengabarkan harapan yang baru saja turun
Atau sekedar membawa rindu yang tertukar dari stasiun ke stasiun

Kau semakin menjelma perempuan itu
Meratapi kota dan orang-orang tergesa, yang tak lagi menjanjikan akhir bahagia
Mereka yang lupa akan dongeng-dongeng hampir sempurna
Lalu, kau tak lagi bertanya
Memilih menyerah pada orang-orang yang menudingmu
Pada nasib dan kabar buruk yang mereka jejalkan dalam kantung hidupmu

Kau semakin menjelma perempuan itu
Lalu, pada dentang jam keberapa kau akan pulang ke takdirmu?

Perjalanan bukan hanya tentang satu dua persimpangan. 
Dan, yakinlah, 
ketika kau tak bisa kembali ke persimpangan yang terlewatkan, memang seperti itulah cerita dalam sebuah perjalanan: menemukan dan melewati persimpangan. 
Satu-dua, bahkan tiga pesimpangan.

Dan, setiap persimpangan akan selalu punya cerita. 
Kau hanya berhak mengabadikannya, bukan memilikinya

Di antara dinding kota, senja yang terbangun, dan jarak yang semakin akrab
Maka, bicaralah kalian
Tentang gedung dalam lukisan sephia
"Kali ini, di mana rindu kita biarkan menyisa?"
Tentang kurcaci dengan senyum yang pedih
"Adakalanya cinta, benar-benar tak sanggup membuatmu lupa"
Tentang kunang-kunang di malam yang terang
"Mungkin, tak ada salahnya berhenti mencari jawaban"

Suatu kali, kenangan dan dirimu akan kembali di sini
Di antara dinding kota, senja yang terbangun, dan jarak yang semakin akrab

"Kau dan aku kehilangan nama, tertinggal di dalam doa yang tidak lagi pernah menjelma"

Kau dan kenangan bicara
Di antara dinding dari senja yang berjarak
Dan semakin akrab.

(Persembahan untuk ulang tahun n1nna dan akhir dari sebuah perjalanan, juga harapan untuk Nia)


0 comments to "Pertemuan, Persimpangan, Perpisahan, dan Kenangan yang Pulang Kepada Takdir"

Posting Komentar

just say what you wanna say