Seperti menggenggam takdir di tanganmu. 

Seperti apa rasanya? 


M
ungkin, aku akan takut memejamkan mata, takut genggamanku terbuka, dan tiba-tiba saja kau tak lagi di sana. 
A
ku akan membacanya hingga habis usia, dan memastikan semua baik-baik saja. 
D
an, mungkin aku akan terkapar kelelahan membelokkannya ke arah yang tak ada sela. 

S
eperti menggenggam takdir di tanganmu, seperti apa rasanya? 

M
ungkin, semua tak harus baik-baik saja—meski kau ingin semua baik-baik saja. 
S
eperti menggenggam takdir di tanganmu. 
Itulah kita. 
B
ukan karena tak yakin genggaman tak akan erat. 
Hanya saja, takdir.
Ah iya, aku pikir, aku tak kuasa menggenggamnya.

Awalnya hanya dari basa basi busuk di Twitter. Chit-chat berbalas yang bermula dari keisengan seorang teman lama di waktu kuliah untuk mengenalkanku dengan orang yang menurutnya sendiri menarik. Dan memang, dia menarik. Bercandaannya lucu, dan bahasaku yang terkesan sangat formal menurutnya juga menjadi sangat lucu (bagaimana ceritanya coba, bahasa formal dianggap lucu?). Dan di sanalah kemudian semua menjadi cerita bak fairy tale. Berlanjut dengan telpon-telpon sampai larut malam, kami menjadi akrab. Mengabaikan teman lamaku yang ternyata jatuh cinta juga dengannya. Sampai kemudian kami mencoba bertemu face to face, membuat janji meluangkan waktu bersama dengan nongkrong di KFC A. Yani. Dia bilang sengaja pulang lebih awal untuk melarikan diri dari rutinitas kerja di luar kota perbatasan Surabaya untuk ketemu. Aku yang waktu itu sedang ada rutinitas meeting koordinasi gelagapan mencari cara melarikan diri.

Aku tiba lebih dulu dan memesan makanan, menunggu dia yang tidak berapa lama kemudian muncul. Oya, aku suka sekali perempuan yang berkacamata. Kejutan menariknya yang lain sampai membuat aku malu-malu dengan muka yang pasti saat itu langsung berekspresi liur menetes. Dia perempuan yang saat itu memakai setelan formal dan BERKACAMATA.  Awalnya saya berpikir mungkin saja aku sedang dikerjain remaja-remaja alay seperti kebanyakan yang diperkenalkan lewat dunia maya, tapi dia berbeda. To the point, tegas, berprinsip dan serius. Ini awal yang luar biasa untuk jatuh cinta bukan?

Di mulai dari jam 15 lebih sekian menit, dari awalnya makan di ruangan ber-AC, sampai berpindah keluar dan berakhir hampir tengah malam, kami berbagi banyak cerita. Saling bertanya dan menjawab banyak hal, dan berakhir di depan rumah di mana saya tinggalSempurna.

Hari berikut ketika teman dekatku mengajak untuk kopi darat dengan si dia, aku yang hilang kendali. Takut pendekatan diam-diam kami terungkap. Memang sesuatu yang salah akan selalu membuat kita tidak pernah bisa tenang.

Begitulah, di pertemuan itu kami bertiga nongkrong di Coffee Corner, ngobrol seru dan kemudian main truth or dare. Saat bermain itulah sebuah pertanyaan membuatnya harus bersikap jujur, tentang orang yang saat ini dia sukai. Jawabannya membuatku terdiam, bingung, tapi tidak bisa menyembunyikanku dari rasa yang lebih dominan, senang. Dia bilang sedang menyukai seseorang yang dia temui untuk yang kedua kalinya, dan orang itu (sangat yakin) adalah aku.

Begitulah semua bermula, hampir selalu ada kesempatan di mana kami bisa lebih dekat dan menumbuhkan apa yang sudah kami mulai. Hingga kami bersama. Meskipun tidak lama, segala yang tidak terbendung itu hingga saat ini masih juga berkembang, meskipun kami tak lagi memiliki ikatan ataupun intensitas yang sama.

Satu moment yang tidak terlupakan adalah ketika saya mengingatkannya untuk makan, atau perhatian-perhatian lain yang menurutnya itu berlebihan. Dia orang yang tidak mudah untuk menuruti kehendak orang lain. Dan itulah menariknya. Di saat jengah karena keras kepalanya untuk punya pola hidup (makan) yang teratur, sering saya frustasi untuk membuatkan dia sesuatu yang bisa selalu dia makan di tengah aktivitas ataupun di saat leasure time-nya. Terbawa dari kebiasaan yang ku alami di rumah, Ibu saya orang yang selalu berusaha memasakkan apa saja yang diinginkan anak dan suaminya, karena Bapak saya tidak pernah mengijinkan kami membeli makanan dari luar (ini juga yang mungkin membuat saya saat ini –seperti kesetanan- menikmati makanan selain masakanku sendiri atau masakan rumahan lainnya).

Aku sangat suka memasak, tapi aku juga tidak membiarkan diri terbelenggu dengan tidak menikmati kebebasan merasakan masakan dari luar. Dia dan banyak teman-temanku bilang bahwa aku orang yang suka membuang uang untuk membeli makanan yang akhirnya tidak ku habiskan (kebiasaan buruk yang sampai sekarang tidak bisa ku kendalikan) karena keinginan lebih besar dari pada kemampuan perut menerima makanan (mungkin). Lidahku lebih pemilih karena mencari yang terbaik untuk memanjakan diri, di saat masih punya kesempatan.

Ketikapun bersamanya, keinginan terbesarku adalah sekali waktu kami mempunyai kesempatan bersama. Aku akan memanjakannya dengan memasakkan makanan yang tidak akan terlupakan, membuat moment dinner romantis di rumah, membangunkannya dengan hot chocolate kegemarannya, menyiapkan camilan yang akan membuatnya tidak rela meninggalkan kebersamaan kami.

Kesempatan itu pernah ada, bersamanya di dapur. Sebenarnya bukan memasak, hanya menghangatkan kare rajungan yang ku bawa dari langganan kami di luar kota. Saat aku menghangatkan kare, dia tiba-tiba memeluk dari belakang, dan menciumku kemudian bilang, "Makasih sayang."

Memasak itu hal yang sangat indah dan banyak sekali pembelajaran yang bisa kita ambil dari memasak. Selalu ada filosofi dari semua hal yang kita lakukan ketika memasak.

Jangan masukkan irisan bawang atau bumbu yang sudah diulek ke dalam minyak yang terlalu panas, karena selain meletus-letus, juga bumbu bisa langsung gosong. Ini bisa diartikan dengan: Jangan biarkan persoalan terlalu memanas, sehingga apapun solusi yang ditawarkan tidak akan mempan, malah berbalik ke diri kita sendiri. Sebaiknya tangani konflik sebelum mencapai klimaks, atau tunggu hingga panasnya reda, baru memberikan saran.

Dengan takaran yang tepat, penanganan yang sesuai resep, serta suhu oven yang akurat, maka sebuah cake akan mengembang sempurna yang berarti: sebuah hubungan, baik percintaan maupun bisnis, harus ditata dengan hati-hati, langkah demi langkah, dan sesuai takarannya agar bisa berkembang menjadi hubungan yang memuaskan bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Taburan garam dan gula pada sebuah masakan dapat menggantikan vetsin yang berbahaya bagi kesehatan. Artinya: setiap kenikmatan hidup yang merusak tubuh dan jiwa sebenarnya memiliki bahan penggantinya yang lebih aman dan sehat. Kita hanya harus disiplin mengalihkan diri dari yang merusak ke yang tidak merusak.

Masuk ke dalam inti tulisan ini, sebenarnya aku hanya ingin berbagi tentang sedikit memaknai filosofi (kalau boleh dikatakan seperti itu) di dalam memasak itu sendiri. Buatku memasak hampir sama prosesnya ketika kita menjalani kehidupan kita sendiri, di sana ada proses yang berjalan, ada kesabaran, ada persiapan, ada proses mematangkan dan juga menghidangkan atau menyajikan.

Sama seperti hidup kita sekarang yang ku pikir hampir mirip dengan proses memasak itu sendiri, saat pertama kali kita dilahirkan hampir sama ketika kita sedang mempersiapkan bahan-bahan dalam memasak, kita sebagai “bahannya”, kehidupan adalah bumbu-bumbunya lalu ketika kita mulai beranjak dewasa kita mulai sekolah, dari SD sampai perguruan tinggi, itu semua menurutku adalah sebuah “bumbu-bumbu” yang ditaburkan kepada kita sebagai” bahan dasar” dari sebuah “masakan” kehidupan hingga suatu saat kita akan “disajikan atau dihidangkan” ke dalam sebuah “perjamuan” kehidupan yang sesungguhnya.

Didalam memasak kita diajarkan oleh yang namanya proses, mulai dari menyiapkan bahan, memanaskan minyak, mencuci sayuran, memotong bumbu-bumbu hingga yang lainnya dan itu sama dengan hidup kita sendiri yang mana hidup adalah berproses sedikit demi sedikit, bertahap dan tidak serta merta langsung sebuah menjadi “makanan” jadi. Ada sebuah proses di dalam hidup kita.

Sebuah proses yang harus benar-benar kita lakukan untuk mendapatkan “cita rasa” yang pas dalam hidup kita, kita harus benar-benar menjalani hidup kita sebagai bagian dari proses hidup kita sendiri agar kelak nanti ketika dewasa kita menjadi seorang manusia yang berguna, bermanfaat, dapat “dinikmati” dan dapat membuat orang di sekeliling kita nyaman dengan diri kita. Dalam memasak juga kita diajarkan untuk menggunakan kesabaran kita, masakan yang akan kita masak tidak akan menjadi baik dan enak ketika kita terburu-buru dalam memasaknya, dan dalam hidup pun seperti itu dalam proses tadi kita diajarkan bahwa sebuah kesabaran adalah kesediaan untuk menjalani prosesnya satu demi satu.

Dunia ini diciptakan berproses. Kesabaran berarti menikmati proses tersebut. Kita tak bisa mendadak menjadi kaya, pandai, dan sukses dalam suatu hal tanpa proses. Kita harus mau bersabar menjalani prosesnya dari hari ke hari. Dalam hal ini berlaku hukum pertumbuhan dan sebab akibat, kita hanya menuai apa yang kita tanam. Atau ada yang bilang gini, "Kesabaran adalah saudara kembar dari keberanian bertindak. Kesabaran adalah denyut nadi yang menentukan seberapa lama keberanian untuk terus mencoba, tetap bertahan dalam diri seseorang. Kalau kita bersabar Anda akan benar-benar menikmati saat-saat terindah dalam hidup Anda."

Begitulah juga dengan hubunganku dengannya, semua proses yang tidak pernah kami lewati membuatku tidak pernah berhenti berharap. Seharusnya kami tidak semudah itu menyerah.


Bukan masalah takdir yang terjadi dan hanya apa adanya
ini asa kita meraih bahagia

J
angan takut memejamkan mata..
karena dalam gelap kita mampu membayangkan apa saja yang kita suka..
...jangan takut genggamanmu terbuka..
karena kita juga perlu memberinya ruang agar nafasnya lega..
mungkin kau tak akan selamanya di sana..
tapi kau selalu ada dalam hati dan kenangan yang kupunya..

mari kutemani membaca..
jalan kita masih sama..
meski arahnya mulai berbeda..
jika lorong kita tak ada sela..
maka mari luangkan jeda untuk mencipta sedikit celah rahasia..

*percay
alah
ini bukan tentang takdir yang telah sedemikian rupa terukir..
ini masalah sekuat apa kita yakin dan sebesar apa upaya kita yang mengalir*

 




**sebagian tentang filosifi diambil dari blog orang lain

 


0 comments to "Seperti Menggenggam Takdir"

Posting Komentar

just say what you wanna say