Di tengah kesibukan yang tidak kenal kompromi akhir-akhir ini, membuat saya tidak sempat menulis. Dan siang ini saya kembali terpecut oleh twitter niken. Entahlah, untuk menulis sepertinya tidak lagi semudah dulu. Gagu. Kata-kata tidak lagi mudah tertata kecuali kalimat formal yang menjenuhkan. Terbiasa dengan laporan yang berisi kalimat pasti membuat kalimat yang aku tulispun tidak lagi berdiksi. Bagaimana tidak, setengah tahun terakhir kami seperti dikejar anjing yang sekian bulan tidak makan. Setitik saja peluang dengan sedikit hal yang terlalu menguntungkan, kami kejar dan harus kami jalani dengan pengorbanan waktu, pikiran dan energi yang panjang.

Bicara tentang Ibu, selalu mengingatkan saya tentang masa di mana saya melihatnya pagi-pagi menangis di dapur. Ibu yang menangis dan mengadu ke Yangtri (Eyang Putri) dengan cerita yang saya belum mengerti sampai kemudian bapak keluar dari kamar dengan diam. Keluargaku memang aneh, ibu yang dominan dalam segala keputusan-keputusan dalam keluarga, dan bapak yang tidak pernah bicara dengan kami kecuali masalah raport dan sekolah. Pun ketika masa itu terjadi, bapak adalah sosok lelaki yang kami tidak cukup kami fahami.

Sampai saya dewasa, hubungan antara kami sebagai anak dan orang tua tidak lebih dari memenuhi kewajiban dan tuntutan tanpa mereka tahu apa yang kami inginkan. Saya ingat sekali dulu ada kebiasaan yang ternyata kami bertiga (saya tiga bersaudara) sama-sama lakukan. Menyimpan cerita dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kami dalam sisi afeksi dengan saling menjaga. Mencari teman-teman yang akhirnya menjadi teman kami bertiga diluar keluarga. Kami terbiasa melarikan diri dari rumah yang sepi dengan lebih akrab dengan anak-anak tetangga di sawah, pekarangan, sungai, kebun belakang rumah, mengembala kerbau, bahkan mencuri tebu.

Ya, sosok Ibu buat kami bertiga seasing bapak. Ibu lebih sibuk dengan mengurus orang-orang yang bekerja di sawah. Bapak buat kami seperti seorang yang memberikan seluruh hidupnya dengan pengabdian total pada negara. Seluruh waktunya tersita di depan kertas-kertas. Seorang guru yang total tapi lupa mendidik anak-anaknya.

Masa pertumbuhan oral saya diisi oleh perempuan-perempuan hebat yang tidak pernah hilang dari ingatan saya. Empat perempuan yang saya sebut IBU. Saya merasakan kehangatan pelukan, kasih sayang, menemukan pemenuhan rasa lapar dari ASI empat perempuan. Mbok dan Emak memang tinggal di samping rumah induk kami. Mereka dua keluarga yang biasa disebut rewang, bekerja pada Eyang. Kata Yangkung (Eyang kakung), orang tua mereka dari dulu sudah menjadi orang-orang kepercayaan keluarga kami, karenanya mereka mendapat rumah di pekarangan dekat rumah kami. Mereka juga bagian dari keluarga. Di saat ibu sibuk mengurus orang-orang yang bekerja di sawah dan di gudang tembakau sampai sore, saya bergantian menyusu Mbok, Emak dan Iyung. Saat belajar berjalan dari sekian kali terjatuh dan menangis kesakitan, saya mendapatkan semua itu dari Iyung, Mbok dan Emak. Sisanya sedikit, dari Ibu.

Sampai ketika saya memasuki sekolah Taman Kanak, Ibu tetap asing berada di kelas. Sementara anak-anak lain ditunggui oleh Ibu atau keluarganya, saya sendirian menghadapi orang-orang baru atau anak-anak kecil seumuran saya sebagai pemerhati. Sampai saat ini, saya benci kemampuan komunikasi saya yang payah. Menjadi pengamat yang tekun seperti bapak sangat bukan keinginan saya. Saya tidak pernah ingin seperti bapak. Buat saya, bapak tidak pernah benar-benar memiliki fungsi dalam keluarga kami selain menanamkan sperma dan membuahi ibu kemudian kami menjadi ada. Kehangatan darinya pernah saya rasakan ketika saya masih kecil, itupun samar. Seingat saya, kami dulu pernah menjadi sangat dekat bahkan dibandingkan dengan Ibu. Saya ingat pernah di malam sebelum saya terlelap, saya berada dalam rengkuhan hangat dekapan tangannya yang kokoh. Suaranya yang berat menyanyikan “Kijang Talun” sambil menimang saya di dekapannya. Atau ketika saya demam tinggi, dia kebingungan mencarikan dokter sampai ke kota yang jaraknya puluhan kilometer dari rumah kami. Tapi hubungan kami memburuk ketika saya mulai sekolah. Kami hampir tidak pernah berkomunikasi kecuali masa penghakiman di saat menerima raport. Dia akan mendudukkan kami bertiga dan memarahi kami karena nilai-nilai mata pelajaran yang dianggapnya buruk, bertanya kami akan ke SMP mana, SMU mana, ambil IPA atau IPS, kuliah di mana, bekerja sebagai apa? Don't you think he's freak? Saat saya masih SD saya diharuskan berpikir sejauh apa hidup saya ke depan. Komunikasi yang hanya satu tahun sekali diisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya harus kami pikirkan sepanjang tahun.

Ibu, perempuan ini tidak kenal lelah menjalani kehidupan. Dia sosok yang membuat saya memiliki sisi berbeda, kekuatan untuk survive dan tidak berhenti berusaha. Sebagai perempuan yang sisi kepekaan emosionalnya tinggi, dia yang waktu itu memilih tidak meneruskan sekolah setelah SRnya selesai, mengambil kursus-kursus bekal pengayaan dirinya. Cakap memasak dan menjahit. Ketika muda, dia jatuh cinta dengan anak dusun yang saat itu hanya bekerja menjadi buruh sawah di keluarga eyang. Sayangnya eyang tahu, sampai kemudian ibu dipaksa menikah dengan bapak, berpendidikan dengan masa depan yang dianggap terjamin.

Saya tidak lagi banyak tahu apa yang terjadi dengan ibu karena sejak SMP kami sudah diharuskan kos meskipun jarak rumah dan sekolah tidak lebih dari 20 menit perjalanan dengan sepeda ontel. Pulang satu atau dua minggu sekali, menikmati kesendirian di hari sabtu minggu dengan menonton TV atau tiduran menghabiskan buku bacaan di kamar gelap membuat saya semakin jarang mau pulang. Dari dua minggu sekali, intensitas pulang saya bisa sampai bulan. Saya hidup untuk diri saya sendiri. Menikmati merasakan cinta monyet tanpa siapapun yang bisa saya ajak berbagi cerita, mengejar kakak tingkat sampai terdampar di Surabaya tapi kemudian dia memilih menikah.

Saat itulah saya bertemu adik tingkat yang kemudian menjadi teman hidup saya selama dua setengah tahun.

Di saat pulang ke rumah keluarga kami, mereka tahu kedekatan kami hanya sebatas adik kakak. Sampai kemudian dua setengah tahun perjalanan kebersamaan kami, denial saya bahwa hubungan kami salah membawa saya pada situasi yang cukup sulit, sampai saya terkapar karena thypus. Saya pulang ditemani koko Sony yang adalah sepupu saya, kebetulan kami kuliah di kampus yang sama. Si adik tingkat tidak menemani saya pulang. Saat saya dirawat di rumah sakit selama dua minggu meninggalkan semua yang ada di surabaya, saya merasa tidak tenang. Ibu yang saat itu menemani saya di rumah sakit, seperti mengerti bahwa sakit saya bukan sebatas fisik, tapi lebih karena psikologis. Saya memaksa kembali ke surabaya dalam kondisi yang belum benar-benar pulih.

Sesampai di surabaya, saya dikejutkan dengan orang yang menempati posisi terpenting dalam hidup saya sudah memilih melanggar komitmen kami. Dia bukan saja berkumpul dengan komunitas yang saya tidak pernah mau mengenal, komunitas lesbian yang menurut saya jelas salah meskipun hubungan kami berdua terkategorikan sama, salah. Dia sudah memiliki orang yang dengan bangga dia sebut pacar. Perempuan yang lebih matang dalam menentukan pilihan hidup sebagai seorang lesbian. Saya ingat Ibu saya, yang dalam keadaan apapun hatinya, tetap bersetia dengan bapak. Beberapa hari saja saya mendengar dan bersamanya, saya tidak kuat. Setiap hari dia hanya membicarakan pacarnya, bahkan bercerita bagaimana dia bercinta dan selingkuh dengan mantan pacarnya di rumah mereka. Ah, saya tidak sekuat Ibu. Kesabaran dan kesetiaan saya teruji gagal. Saya memilih pergi mencari ketenangan hidup saya sendiri.  

Malam terakhir sebelum saya memutuskan pindah, saya memohon kepada si adik untuk menemani saya sebelum (mungkin) kami tidak akan pernah lagi bertemu. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kos kami yang lama, katanya ada acara dengan teman-teman kos kami. Pagi, saya menerima telephone dari nomer si adik, bukan suaranya. Tapi ada latar suara tangisan, ya tangisan si adik. Saya bingung, suara laki-laki di telephone bilang, si adik kecelakaan dengan seorang perempuan, kondisinya parah dan saya harus ke lokasi. Saya memakai hijab dengan cepat tanpa mandi.

Sesampai di tempat kejadian, saya melihat motor pacarnya si adik rusak parah di depan rumah. Saat saya masuk rumah, si adik yang telentang memanggil-manggil nama saya sambil tidak berhenti menangis. “Sa..., sa..., maafin aku sa..”.  Saya meraih tangannya yang menggapai, mengenggamnya lembut dan mengelus kepalanya.

Kemampuan finansial saya yang masih payah karena hanya bekerja selingan di warnet dan bekerja freelance di perusahaan riset pemasaran membuat saya harus malu. Saat melihat si adik dan pacarnya kesakitan, saya tidak lagi punya pilihan selain menelephone Ibu, meminjam uang untuk membawa mereka berdua ke rumah sakit. Dan perempuan itu tidak banyak bertanya selain, “Keluarganya adek nggak kamu telephone? Yawis Ibu transfrer, minta nomer rekeningmu”.

Dengan uang pinjaman dari Ibu saya membawa mereka ke rumah sakit terdekat, memaksakan pulang lebih awal karena ketidakcukupan biaya. Merawat mereka di kamar sempit kos kami, membetulkan sepeda motor yang rusak parah, memasakkan makanan, mencucikan baju, dan menyela waktu untuk tetap bekerja, mengabaikan kuliah semester akhir yang tidak lagi terpikirkan.

Di malam yang panas karena mendung dari sore tidak juga menurunkan hujan, saya kelelahan. Saya pamit tidur ke si adek dan pacarnya yang masih melihat TV. Di saat masih setengah tersadar, saya mendengar suara desahan, awalnya pelan, tapi kemudian semakin jelas. Tidak kuat menahan diri, saya bangun dan melihat dengan marah pada mereka berdua, melangkah ke gantungan baju, menyambar baju yang layak dipakai untuk keluar dan berjalan cepat ke kamar mandi.  Saya kembali ke kamar mengambil dompet dan kunci motor.

Kejadian ini benar-benar membuat saya terpuruk. Saya tidak lagi mau bertemu mereka berdua, saya memilih pindah ke kos baru. Kesendirian membuat saya tidak menjadi lebih baik. Setiap jalan dan tempat mengingatkan saya pada si adek. Di saat saya harus menyelesaikan skripsi, saya malah kehilangan pikiran sehat saya. Ketidakmampuan mengendalikan diri membuat saya bersikap impulsif. Saya merasa perlu keluar dari kota penuh kenangan yang membuat saya tidak berhenti dari rasa sedih dan kesakitan mengingat malam terakhir kebersamaan kami. Dengan nekat, saya naik kereta ekonomi ke Jakarta. Sesampai di gambir, saya menelephone om yang tinggal di Koja, meminta dijemput.

Kedatangan saya yang terduga dan kondisi saya yang terlihat kacau membuat om curiga, dia menelephone keluarga saya. Malamnya, paklek (adiknya ibu) sudah ada di Koja menjemput saya. Saya dipaksa pulang. Esoknya ketika di bandara saya kabur, nekat, saya hanya ingin sendiri. Saya kabur di adek yang saya kenal lewat media sosial di Binus. Setelah satu mingguan disana, saya mulai merasa ada yang salah, setiap hari memimpikan Ibu yang menangis. Aneh buat saya karena selama ini kami tidak pernah dekat. Ikatan emosional seperti ini harusnya tidak pernah ada dalam cerita sejarah perjalanan keluarga kami. Bahkan disetiap aktivitas saya, kemudian selalu terbayang ibu.

Penasaran, saya menelephone ke rumah. Ketika telephone terangkat, kakak kedua saya yang menjawab, “Halo, kamu di mana? Bajingan kamu! Pulang Na, ibu sakit”. Saya tertegun, dengan telephone masih tersambung, dan terdengar suara kecil perempuan menangis, itu suara ibu saya. “Aku cuma pengen sendirian dulu, lagi nggak pengen di Surabaya, mas”. Telephone berpindah, suara ibu menjawab, “Kamu pengen opo nduk? Genyo kok gak pengen neng Suroboyo? Pengen pindah Jakarta? Pengen kuliah neng kono? Ibu salah to nduk? Ibu salah...”  

“Mboten buk, aku cuma lagi pengen di Jakarta sebentar. Pengen menenangkan diri dulu, nanti pulang”

“Yawis, jangan tinggal di orang yang ibu nggak tau. Tinggal di bulek Sih ya, biar dijemput dek Putut”.

“Nggih buksudah, ibu jangan nangis, aku nggak apa-apa kok”.

Percakapan singkat itu membawa saya memahami sedikit tentang ibu. Memahami bahwa kami memiliki kebisuan yang salah selama ini. Ikatan antara kami berdua bungkam karena ketidakbiasaan kami saling berucap.

Dua minggu kemudian, ketika kaki saya menapak pintu rumah orang tua saya, pemadangan mengejutkan membuat saya tidak bisa menahan air mata. Kakak kedua saya bersimpuh di lantai melihat saya masuk kerumah, dan ibu saya menjerit pingsan begitu saya masuk.  Ada banyak keluarga besar saya di sana yang tidak bisa jelas saya lihat selain ibu yang dibopong bapak dan kakak pertama saya, dan, suara tangisan kakak kedua saya yang melihat dan bilang, “Aku wes ngiro, aku wes ngiro...”.

Setelah keadaan agak tenang, dan ibu mulai terlihat cerah dengan saya terus ada di sampingnya menemani tiduran, kami mulai berbicara. Ibu memeluk saya, dalam pelukannya dan tangannya yang kasar itu saya menemukan ketenangan dan keberanian. Ke mana saja kami selama ini?

“Enek opo to nduk?”

Saya menangis, semakin erat memeluk ibu.

“Cerito o, ben ibu ngerti”Perempuan yang tidak pernah saya rasakan kehadirannya itu juga menangis.

“Ayo to nduk, cerito, ibu ora ngerti nek awakmu ora cerito? Opo’o? Bapak opo ibu seng salah?” Suaranya semakin tersendat ditelan suara tangisnya.

“Aku sama ditha bukan adek kakak bu, kami sudah lebih dari itu. Aku dosa bu, aku udah kayak suami istri sama Ditha bu. Ditha sekarang ninggalin aku karena aku menjaga jarak”

Ibu diam, hanya memelukku dan (mungkin) mencerna kata-kataku.

“Ibu seng salah”

“Bukan, bukan salahnya ibu, aku seng dosa”

“Bukan, ini salahnya ibu”.

“Kenapa jadi salahnya ibu? Yang jalanin aku bu, yang lakuin aku”

“Salahnya ibu”

Pembicaraan itu tak lagi berlanjut, hanya pelukannya yang menenangkan. Membawa kami menyelami kemungkinan tanpa tahu apa yang perlu disalahkan.

Setelah saya kembali ke Surabaya dan memulai lagi semua dari awal, komunikasi kami semakin menemukan arah. Sering bertelephone dan mulai terbiasa bilang kangen. Bahkan, bapak juga mulai ikutan bersuara di telephone meskipun datar tapi mulai menunjukkan perhatiannya.

Ibu, seperti apapun beliau dalam ingatan kita, bukan lagi sejarah yang bicara, tapi ikatan yang tidak terpahami siapapun.

 

karena itulah kau selalu membuatku rindu, bu

karena bagaimana pun waktu berlalu

hingga mana pun jauh mengantar langkahku

tak pernah ada yang menamai rindu milikku

sesempurna kau menamainya

dan membuatnya akan selalu menjadi milikmu

hanya milikmu



karena itulah kusebut engkau rumah, bu

satu-satunya tempat di mana aku ingin selalu pulang

untuk sekadar menengok ruang masa kanak-kanakku

atau mencoba menitip hari-hari di masa depan

engkaulah yang akan selalu menjadi rumah itu,



ya, cuma engkau yang bisa menjadi rumah itu

meski mungkin perjalananku sudah lebih jauh

lebih jauh dari jejak kali pertama kau mengajariku

meski mungkin sudah begitu banyak huruf yang aku baca

jauh lebih banyak dari eja yang pertama kali engkau lukiskan

telah banyak pula mungkin lagu yang aku nyanyikan

jauh lebih banyak dari lirik yang pernah engkau bisikkan

tapi, engkaulah yang akan selalu menjadi rumah itu,

tempat hati selalu bisa berteduh

tempat segala kisah selalu bisa menetap

tempat mimpi kanak-kanak menyicipi cinta dan menjadi besar

juga tempat masa depan berebut doa dan menyemai harapan



karena itulah kau miliki segala cintaku, ibu

karena aku tahu dalam setiap langkah perjalanan jauhku

ada doamu yang menyerta cahaya

yang tidak hanya menyala saat gelap

tapi, selalu memberi arah saat terang terlalu menyilaukan



dan karena itulah kau selalu membuatku rindu, bu


0 comments to "Perempuan yang Kusebut Ibu"

Posting Komentar

just say what you wanna say